Tidak suka bicara, tidak terbuka, suka menyendiri, tanpa emosi,
Suharto memerintah Indonesia selama 32 tahun sebagai seorang misterius,
seorang diktator yang tampil sebagai tokoh tanpa wajah, yang tidak
menonjol di dalam suatu pemerintahan yang a-politis. Pidato-pidatonya
menjemukan, mudah terlupakan, penuh dengan kata-kata birokrat yang
menjemukan, klise-klise yang usang, dan nasehat-nasehat yang saleh.
Tidak ada satu pun pernyataannya yang bisa membuat orang terkenang
padanya sekarang. Orang Indonesia, jika ditanya, akan sia-sia berusaha
mengingat suatu kutipan pun yang berasal dari dia, sedangkan di lain
pihak, bahkan anak muda bisa mengutip kata-kata Sukarno, presiden yang
digulingkannya pada tahun 1965. Suharto meninggalkan kenangan tanpa
kata.
Jarang diwawancarai, tapi sering dipotret,
ia dikenang dari sebuah gerak tubuh: senyum. Begitulah ia ingin dikenal:
biografi yang disuruhnya buat pada tahun 1969 berjudul: “Jenderal yang
Tersenyum”. Itu adalah senyum “kucing Cheshire”(*), terpaku di
tempatnya, menyembunyikan sesuatu, tidak mengungkapkan isi hatinya, dan
menimbulkan tanda-tanya tentang intrik-intrik dan kekerasan apalagi yang
tengah disulap di dalam otak yang ada di baliknya.
————
(*) “Cheshire cat”, kucing yang diceritakan dalam kisah khayalan terkenal, “Alice’s Adventures in Wonderland”, karya Lewis Carroll. Kucing itu bisa muncul dan lenyap sesuka hati; akhirnya ia berangsung-angsur lenyap dan hanya tinggal senyumnya saja, sehingga Alice berkata: “Saya sering melihat kucing tanpa senyum, tapi belum pernah melihat senyum tanpa kucing.”
————-
————
(*) “Cheshire cat”, kucing yang diceritakan dalam kisah khayalan terkenal, “Alice’s Adventures in Wonderland”, karya Lewis Carroll. Kucing itu bisa muncul dan lenyap sesuka hati; akhirnya ia berangsung-angsur lenyap dan hanya tinggal senyumnya saja, sehingga Alice berkata: “Saya sering melihat kucing tanpa senyum, tapi belum pernah melihat senyum tanpa kucing.”
————-
Orang tua Suharto merupakan misteri. Dalam “otobiografi”-nya, yang
ditulis oleh orang yang paling bertanggung-jawab atas pembentukan citra
publiknya, G. Dwipayana, Suharto mengklaim bahwa ia dilahirkan di
kalangan petani miskin di desa Kemusuk di dekat Yogyakarta. Sebuah
majalah yang dimiliki oleh bos intelijen militer yang dipercayanya
mengklaim pada tahun 1974, bahwa ayahnya seorang ningrat. Dalam sebuah
jawaban yang mungkin disiapkan lebih dulu, Suharto mengundang wartawan
ke ruang kerjanya di istana kepresidenan untuk menjelaskan garis
keturunannya dan mengajukan saksi-saksi yang dapat menguatkan bahwa ia
sungguh-sungguh orang yang baik, jujur dan dapat dipercaya. Sekalipun ia
menyanggah, garis keturunannya tetap diragukan. Di kalangan orang
Indonesia tersebar luas cerita bahwa ia anak tidak sah dari seorang
pedagang Cina.
Karir yang menyenangkan
Apa pun asal-mulanya dan pengalaman masa kanak-kanaknya, di masa
dewasa ia jelas adalah seorang militer karir. Ia masuk militer Belanda
pada tahun 1940, yang merupakan peristiwa yang dalam “otobiografi”-nya
dikatakannya sebagai “kunci yang membuka pintu kepada sebuah kehidupan
yang menyenangkan”. Kehidupan menyenangkan yang terdiri dari
baris-berbaris dan latihan itu berlanjut pada masa pendudukan Jepang,
ketika ia menjadi anggota milisi Peta. Seperti anggota milisi lain, ia
bergabung dengan tentara nasional Indonesia yang baru dibentuk begitu
militer Jepang menyerah pada Agustus 1945. Tidak dimungkinkan lagi untuk
kembali mengabdi pada Belanda, karena Belanda telah dilucuti kekuasaan
dan kekayaannya oleh Jepang dan menjalani tahun-tahun perang di dalam
kamp-kamp konsentrasi yang kotor dan tidak nyaman.
Berkat latihan militer yang pernah diikutinya, Suharto diberi pangkat
tinggi (letnan kolonel) dalam tentara Indonesia yang baru itu, yang
dibentuk untuk melakukan perang gerilya melawan tentara Belanda yang
datang kembali. Pada tahun 1948 ia telah menjadi komandan sebuah brigade
pasukan yang ditempatkan di dalam dan di sekitar Yogyakarta, ibukota
Republik. Serangan-serangan gerilya tentara itu tidak banyak bermanfaat
dalam menghambat kemajuan pasukan Belanda.
Sekalipun lebih menguasai medan di kandang sendiri, Suharto
dikejutkan pada 19 Desember 1948 ketika pasukan Belanda menyerbu
Yogyakarta dan menguasainya pada hari yang sama tanpa menghadapi
perlawanan sedikit pun. Entah bagaimana, keempat batalyon Suharto sedang
berada di luar kota. Itu merupakan kemunduran terburuk bagi Republik:
kedua orang pimpinan tertingginya, Sukarno dan Hatta, tertawan.
“Politik saya terletak di ujung bayonet.”
Suharto mendapat kesempatan untuk memperbaiki diri ketika ia memimpin
sebuah serangan terhadap kota Yogyakarta pada 1 Maret 1949. Serangan
itu hanya menimbulkan kerusakan kecil di kalangan pasukan Belanda yang
menduduki kota itu dan dipukul mundur dalam waktu enam jam. Namun,
Suharto dan para komandan militer lain mengklaim bahwa mereka telah
menguasai kota untuk sementara waktu dan membuktikan kehebatan angkatan
bersenjata Republik kepada dunia. Setelah Suharto berkuasa pada tahun
1965, peristiwa itu disulap menjadi kemenangan yang menentukan dalam
perang kemerdekaan, dan dibuatlah film tentang peristiwa itu, “Janur
Kuning” (1979), dan di kota Yogya didirikan sebuah monumen besar untuk
mengenangnya (1985).
Sebagai orang yang pernah bekerja dalam tiga tentara yang berbeda
dalam kurun waktu satu dasawarsa, Suharto mempunyai komitmen politik
yang enteng. Salah satu kolega militernya belakangan berkata pada
seorang wartawan, bahwa pada tahun 1948 Suharto pernah berkata, “Politik
saya terletak di ujung bayonet.” Tidak heran bahwa Sukarno dan menteri
pertahanannya yang berhaluan kiri memasukkan komisaris politik di dalam
tentara. Seperti banyak tentara yang dilatih di bawah perwira Belanda
dan Jepang, Suharto tidak punya pengalaman didalam gerakan nasionalis
populer yang telah berjuang melawan imperialisme.
Menapak jenjang kepangkatan
Setelah kemerdekaan tercapai dalam tahun 1949, Suharto menanjak
pangkatnya: kolonel, brigadir jenderal, mayor jenderal. Ia pernah
mengalami kemunduran pada tahun 1959, ketika ia diberhentikan sebagai
komandan tentara di Jawa Tengah karena korupsi. Tetapi peristiwa itu
ditutupi dan ia direhabilitasi dengan cepat. Ia ditugasi memimpin
operasi merebut Irian Barat dari Belanda pada tahun 1962 – operasi itu
dihentikan pada saat terakhir dengan tercapainya kesepakatan diplomatik.
Ia lalu dipindahkan ke Jakarta dan diberi jabatan sebagai komandan
cadangan angkatan darat, Kostrad, pada tahun 1963. Dengan catatan karir
yang tidak menonjol, pendidikan yang rendah, dan tidak menguasai bahasa
asing, pada tahun 1965 ia menjadi calon utama untuk menduduki jabatan
tertinggi di angkatan darat, dan bertindak menggantikan panglima
angkatan darat, Yani, bila ia pergi keluar negeri.
Suharto naik ke puncak militer yang kemudian menjadi semacam negara
di dalam negara, memiliki komandan teritorial, yang pada mulanya
didesain untuk pertahanan terhadap invasi asing, tetapi kemudian
memerintah masyarakat sipil.
Kebanyakan dari jenderal-jenderal lain, termasuk yang paling senior,
A.H. Nasution, sangat anti-komunis dan bertekad menahan kekuatan PKI
yang tengah meningkat pada awal 1960an. Untuk menandingi partai itu,
mereka pun membentuk serikat buruh, perhimpunan seniman, dan surat
kabar. Mereka berhubungan dengan organisasi-organisasi keagamaan dan
partai-partai politik, dan meyakinkan mereka bahwa bila perlu militer
akan menggunakan kekerasan terhadap PKI.
Suharto tidak secara jelas memihak pada salah satu pihak. Seorang
mantan anggota PKI di parlemen mengatakan kepada saya, bahwa DN Aidit,
ketua PKI, pada awal 1965 mengira bahwa Suharto seorang perwira yang
“demokratis” oleh karena ia mendukung pengakhiran SOB (keadaan perang)
pada tahun 1963. Tetapi Suharto juga berhubungan dengan golongan
anti-komunis dalam usaha tertutupnya untuk mengerem kampanye
anti-Malaysia Sukarno yang dimulai pada tahun 1963.
Hari yang beruntung baginya
Duduk di pinggiran ternyata membawa Suharto pada puncak kekuasaan.
Ketika para perwira militer yang pro-PKI dan pro-Sukarno memutuskan
bertindak terhadap para perwira saingan mereka, mereka beranggapan
Suharto akan mendukung mereka. Sekelompok perwira junior mengorganisir
penculikan tujuh jenderal angkatan darat pada 1 Oktober 1965. Dua di
antara komplotan itu adalah sahabat dekat Suharto, dan seorang di
antaranya menceritakan kepada Suharto rencana komplotan itu sebelum
terjadi. Para penculik, yang menamakan diri Gerakan 30 September,
akhirnya membunuh enam jenderal, termasuk di antaranya panglima angkatan
darat, Yani. Itu adalah hari yang menguntungkan bagi Suharto. Dengan
absennya Yani, ia menjadi panglima angkatan darat. Gerakan 30 September
tidak diotaki oleh Suharto tetapi peristiwa itu justru memberi
kesempatan baginya untuk mencapai cita-citanya.
Sebagai komandan militer, Suharto mulai menentang perintah-perintah
presiden dan menerapkan agenda yang sejak lama dimiliki oleh para
perwira anti-komunis, yakni mengurangi pengaruh Sukarno sehingga menjadi
presiden tanpa kekuasaan, menghancurkan PKI, dan menegakkan
kediktatoran militer. Sikap anti-komunis Suharto bukan berasal dari
komitmen ideologis yang mendalam.
Seandainya Gerakan 30 September berhasil dan kaum komunis meraih
kekuasaan lebih besar, kita bisa dengan mudah membayangkan bagaimana
Suharto yang selalu oportunistik itu menyesuaikan diri dengan rejim yang
baru. Ia adalah perwira yang biasa dan sama sekali tidak menonjol,
sehingga pada minggu-minggu pertama Oktober itu banyak pengamat mengira
bahwa ia sekadar mengikuti pimpinan Nasution.
Kudeta merangkak
Menyingkirkan Presiden Sukarno ternyata tidak terlalu sulit. Tokoh
besar nasionalisme Indonesia, “penyambung lidah rakyat”, terus-menerus
memprotes, tetapi tidak berbuat sesuatu untuk menyetop meriam Suharto.
Ia menguatkan Suharto sebagai panglima angkatan darat, menaikkan
pangkatnya, dan memberinya kekuasaan darurat. Puncak dari kudeta
merangkak terjadi pada Maret 1966, ketika Suharto menggunakan perintah
yang kata-katanya samar tentang “menjamin keamanan” dari Sukarno sebagai
justifikasi untuk menangkap 15 menteri dan membubarkan kabinet
Sukarno–seolah-olah presiden memerintahkan penggulingan dirinya sendiri.
Penghancuran PKI–prakondisi untuk menerapkan suatu kebijakan politik
baru yang didominasi militer–ternyata juga tidak terlalu sulit. Pimpinan
PKI, yang kalang kabut setelah 1 Oktober, menyerukan kepada para
anggotanya untuk tidak melawan supaya Presiden Sukarno dapat mengatur
suatu pemecahan politis terhadap krisis itu. Tetapi presiden tidak
berkuasa atas tentara Suharto. Bekerja sama dengan milisi sipil, tentara
mengorganisir sebuah pertumpahan darah yang paling buruk dari abad
ke-20, menangkap lebih dari sejuta orang, lalu dengan diam-diam membunuh
banyak di antara mereka. Tahanan-tahanan lenyap di waktu malam.
Kuburan-kuburan massal terisi mayat-mayat yang tak terhitung banyaknya
tersebar tanpa tanda di seluruh Sumatra, Jawa dan Bali.
Tidak ada dokumen yang membuktikan bahwa Suharto memerintahkan satu
pembunuhan pun. Dalam beberapa kesempatan yang jarang, ketika ia
berbicara tentang pembunuhan-pembunuhan itu pada tahun-tahun belakangan,
ia menyalahkan orang-orang sipil yang mengamuk. Penyelidikan yang
saksama terhadap siapa, di mana, kapan dan bagaimana berkaitan dengan
pembunuhan-pembunuhan itu mengungkapkan bahwa militerlah yang paling
bertanggung-jawab dan bahwa Suharto setidak-tidaknya menyetujuinya,
kalau bukan ia yang memberikan perintah lisan atau tertulis yang
eksplisit untuk melakukannya.
Wortel & cemeti
Dalam merebut kekuasaan, Suharto dan perwira-perwira militer kliknya
menyadari bahwa stabilitas jangka panjang dari kekuasaan mereka akan
bergantung pada kemampuan mereka untuk meningkatkan taraf kehidupan
rakyat. Mereka berpaling pada bantuan, penanaman modal dan pasar luar
negeri untuk memberikan rangsangan utama bagi pertumbuhan ekonomi. Modal
Barat yang memboikot Indonesia karena kebijakan politik Sukarno dulu
mendapati permadani selamat datang terhampar menyambut mereka. Suharto
sendiri campur tangan pada akhir 1965 untuk menghentikan usaha menteri
perindustrian Sukarno untuk menasionalisir sektor minyak. Dengan
kampanye teror militer terhadap serikat buruh di ladang-ladang minyak,
kebun-kebun karet, dan pabrik-pabrik, modal Barat memperoleh tenaga
kerja yang patuh.
Salah satu alasan bagi kemampuan Suharto yang mencolok untuk
mempertahankan kekuasaan begitu lama adalah kebijakannya memperluas
kesempatan kerja di sektor publik. Pada akhir kekuasaannya, 4,6 juta
orang mendapat gaji dari pemerintah, tiga kali lebih banyak daripada
pada awal tahun 1970an. Jutaan orang lagi merupakan tanggungan para
pegawai makan gaji ini. Jaminan gaji bulanan itu menarik, sekalipun
pendapatannya rendah. Di samping itu, sejumlah jabatan di pemerintahan
memungkinkan orang untuk mendapat lebih banyak uang dengan korupsi.
Para pegawai negeri ini beserta sanak keluarganya merupakan basis
pendukung kunci bagi rejim ini, dengan memberikan suara dan berkampanye
bagi partai pemerintah, Golkar, pada setiap pemilihan umum. Mereka yang
tidak memilik Golkar dipersalahkan karena menggigit tangan yang memberi
mereka makan, dan kehilangan kesempatan untuk naik pangkat.
Tanggapan Suharto terhadap pembangkangan–menggunakan bahasa
sekarang–adalah ‘gertak & bikin takut’. Di Papua, ia menempatkan
tentara pendudukan yang memperlakukan penduduk asli sebagai lebih rendah
dari manusia, yang harus ditundukkan dengan kekerasan. Selama
bertahun-tahun, satu-satunya wajah Indonesia yang dilihat oleh orang
Papua adalah tentara. Suharto bertanggung jawab bagi puluhan ribu orang
Papua yang tewas dalam perang melawan pemberontakan dari akhir 1960an
sampai 1998. Ia juga bertanggung jawab atas perang agresi terhadap Timor
Timur pada tahun 1975, dan atas terbunuhnya lebih dari 100 ribu orang
di sana akibat perang di separuh pulau itu. Ia juga bertanggung jawab
atas terbunuhnya ribuan orang di Aceh yang juga merupakan korban perang
melawan pemberontakan (1990-98), yang didesain untuk meneror penduduk
sipil agar tidak mendukung gerilya, dan bukan menawarkan alternatif
yang lebih positif kepada warga sipil.
yang lebih positif kepada warga sipil.
Suharto dengan keras kepala berpegang pada strateginya bahkan setelah
terbukti kontra-produktif, ketika teror yang dilancarkan di Papua,
Timor Timur dan Aceh menghasilkan lebih banyak perlawanan yang meluas.
Hanya setelah Suharto jatuh, para politisi Indonesia mendapat kesempatan
untuk mengupayakan pemecahan politis & diplomatis yang lebih
manusiawi terhadap perang-perang ini: Presiden Habibie mengizinkan suatu
referendum yang dilaksanakan oleh PBB di Timor Timur pada tahun 1999,
dan Presiden Yudhoyono menandatangani perjanjian perdamaian dengan kaum
nasionalis Aceh pada tahun 2005.
‘Program Ponzi’(*) raksasa itu pun ambruk
Dalam menilai pemerintahan Suharto, apa yang disebut pendekatan
“seimbang” dari banyak sarjana Barat adalah mengkritisi Suharto tentang
pelanggaran-pelanggaran HAM-nya, tetapi memuji kinerja ekonomisnya.
Mereka yang terkesan oleh pertumbuhan enam persen setahun tidak berbeda
dengan para investor yang mudah dikibuli dalam suatu ‘Program Ponzi’(*)
raksasa, yang yakin bahwa penghasilan tinggi yang terlihat di permukaan
merupakan bukti tak terbantahkan dari sebuah sukses. Pertumbuhan ekonomi
pada tahun-tahun Suharto sebagian besar dihasilkan dengan menjual
secara liar sumberdaya-sumberdaya alam negeri itu. Itu adalah
pertumbuhan yang memakan dirinya sendiri, dan yang tak mungkin akan
lestari.
Sektor-sektor utama adalah minyak dan kayu. Keduanya mengalami salah
urus yang hebat karena korupsi. Pada hari ini Indonesia secara bersih
adalah negara pengimpor minyak dan hutan-hutannya menghilang dengan
cepat, dibabat oleh para logger atau dibakar oleh pemilik perkebunan
kelapa sawit. Pendapatan dari semua ekspor itu tidak diinvestasikan
kembali ke dalam sektor-sektor lain; uang itu lenyap masuk rekening bank
dari keluarga Suharto & para kroninya (seperti Bob Hasan), dan para
pejabat pemerintah.
—————
‘Program Ponzi’ : suatu operasi investasi palsu & kriminal, yang di situ para penanam modal awal mendapat hasil (“laba”) yang sangat besar yang dibayar dari investasi oleh para penanam modal yang datang belakangan, dan bukan dari hasil bersih yang berasal dari kegiatan bisnis yang benar.
—————
—————
‘Program Ponzi’ : suatu operasi investasi palsu & kriminal, yang di situ para penanam modal awal mendapat hasil (“laba”) yang sangat besar yang dibayar dari investasi oleh para penanam modal yang datang belakangan, dan bukan dari hasil bersih yang berasal dari kegiatan bisnis yang benar.
—————
Setelah tiga dasawarsa pertumbuhan ekonomi a la Suharto, pemerintah
Indonesia dibebani hutang banyak, dan perekonomian Indonesia tidak
memiliki basis industri yang didanai dari dalam negeri. Sungguh pas
kalau Suharto, yang pengikut-pengikutnya memujinya sebagai “Bapak
Pembangunan”, meninggal dunia di rumah sakit yang dimiliki oleh
perusahaan minyak negara (Pertamina) yang oleh keluarganya dan kroninya
(seperti Ibnu Sutowo) diperas habis-habisan.
Rejim Suharto hidup dari modal asing dan mati karena modal asing.
Liberalisasi sektor keuangan yang didesakkan oleh A.S. kepada Indonesia
supaya dianut pada awal 1990an berakibat kerentanan yang lebih besar
terhadap perubahan mendadak dalam aliran modal internasional. Uang
mengalir masuk ke dalam gerombolan kleptokrat Suharto dan bank-banknya
yang palsu, lalu tiba-tiba mengalir keluar lagi. ‘Program Ponzi’ raksasa
itu pun runtuh dengan terjadinya krisis ekonomi Asia pada tahun 1997.
Satu-satunya legitimasi yang dimiliki oleh Suharto adalah apa yang
seolah-olah tampak merupakan kemampuannya untuk menciptakan pertumbuhan
ekonomis. Begitu itu berakhir, maka kelas menengah yang biasanya menurut
saja membalik terhadapnya, tidak mau mentolerir korupsinya,
anak-anaknya yang serakah dan kroni-kroninya yang sangat immoral
mencolok kekayaannya. Gerakan yang secara spontan terbentuk bagi
“reformasi” ini menyatakan musuh utama mereka adalah KKN: Korupsi,
Kolusi & Nepotisme. Kampanye keluarga Suharto sendiri, “Saya Cinta
Rupiah”, yang datang dari mereka yang justru punya dollar paling banyak,
tidak mempunyai bobot yang sama dengan slogan gerakan itu.
Segudang paranormal yang dimiliki keluarga itu tidak bisa
menyelamatkan mereka; tidak pula jenderal-jenderal penjilat mereka,
bahkan tidak Letnan Jenderal Prabowo, menantu Suharto yang menguasai
pasukan elite di Jakarta, dan yang selalu bergelimang uang dari
saudaranya yang memiliki satu-satunya pabrik baja di negeri itu. Suharto
lengser pada 21 Mei 1998, ketika Jakarta masih mengepulkan asap bekas
kerusuhan misterius, yang di situ toko-toko yang dimiliki oleh
orang-orang Indonesia keturunan Cina dibakar.
Mr. Minus
Mungkin yang terbaik dapat dikatakan tentang 32 tahun pemerintahan
Suharto ialah bahwa salah-salah keadaannya bisa lebih buruk dari
sekarang. Ia tidak memilih strategi jenderal-jenderal Burma dan
mengisolasi negeri ini. Bergantung pada modal asing, ia rentan terhadap
tekanan internasional. Pelepasan puluhan ribu tahanan politik pada akhir
1970an sebagian besar disebabkan oleh tekanan dari luar negeri. Ia
tidak memilih untuk mencari legitimasi dirinya melalui agama dan
menerapkan hukum Islam. Negara Indonesia sebagian besar tetap sekuler.
Ia tidak memupuk kultus pribadi di seputar dirinya. Ketika menghadapi
protes massal pada tahun 1998, ia tidak memilih mempertahankan kekuasaan
dengan segala cara.
Almarhum sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, yang
menjadi tahanan politik Suharto selama 14 tahun, pernah menulis bahwa ia
tidak bisa memaksa dirinya menulis tentang rejim Suharto. Sementara ia
menulis banyak novel historis tentang Jawa di zaman pra-kolonial dan
gerakan nasionalis Indonesia, ia berpendapat tidak ada apa-apa yang
menarik untuk ditulis tentang orang yang bertanggung jawab
memenjarakannya dan melarang buku-bukunya itu. Baginya, Suharto adalah
suatu negativitas, apa yang dinamakannya suatu “minus X”, suatu
kemunduran kembali ke zaman para aristokrat kolonial, yang menindas
bawahan mereka bagi kepentingan bisnis Eropa, namun membusungkan dada
memamerkan kekuatan kosmik mereka yang hebat, dan tetap berpandangan
sempit dan tidak peduli terhadap sains dan seni dari Eropa yang telah
menaklukkan mereka. Tidak diragukan bahwa beberapa orang akan mengingat
Suharto bagi beberapa hal yang positif, tetapi sementara Indonesia
berjuang mengatasi warisannya yang buruk, kita bertanya-tanya, apakah
orang bisa menilai gelarnya sebagai “Bapak Pembangunan” itu sebagai
sesuatu yang sahih selain sebagai sebuah guyonan yang
kejam.***
kejam.***
+ komentar + 1 komentar
NOBITAPOKER.NET Adalah Situs Poker IDN Online Resmi Dan Terpercaya Dan Mudah Menangnya, Dengan Di Lengkapi Berbagai Macam Permainan Kartu Seperti: POKER-DOMINO-CEME-CEMEKELILING-CAPSA-SUPER10-OMAHA
Tentunya Banyak Sekali Kelebihan Bermain Bersama NOBITAPOKER.COM
* Pelayanan Yang Terbaik,Cepat,Dan Cs Yang Sangat Ramah
* Bonus Cashback Tanpa Batas
* Bonus Referall Seumur Hidup
* Proses Deposit Dan Withdraw Tercepat
* Bisa Langsung Di Mainkan Tanpa Perantara
* Di Dukung Melalui Aplikasi IOS & Android
* Sistem Keamanan Terbau, Dan Susah Di Hack
Memberikan Bonus Tanpa Deposit Khusu Member Aktif
Di Support Oleh Bank Resmi Indonesia
BCA | MANDIRI | BNI | BRI
Untuk Semua Bank Online 24Jam Dan Pastinya Tidak Ribet
Contact Us:
BBM: nobitapk
WA: +639669570053
INSTAGRAM: nobitapoker_official
Posting Komentar