Sejarah Dunia - Mesopotomia kuno, dikenal sebagai tempat lahir
peradaban modern. Di sana, terbangun sejumlah kota yang berperan penting
dalam perkembangan budaya barat. Salah satu kota yang berkembang saat
itu adalah Babilonia. Di bawah kepemimpinan Raja Nebukadnezar, kota itu
mencapai puncak ekonomi dan budaya. Di balik kesuksesan dareah itu,
Babilonia pada awalnya merupakan kota kecil yang masa depannya terancam
oleh serbuan yang datang terus menerus.
Di saat serbuan pihak luar terus berdatangan itulah, muncul legenda
pelacur terkenal di Babilonia. Cerita tentang pelacur itu mulai terkenal
bersamaan dengan majunya tingkat ekonomi di kota itu. Apakah legenda
pelacur Babilonia itu sengaja diciptakan dan disebarluaskan untuk tujuan
menarik arus perdagangan ke daerah tesebut? Atau hanya sebuah kebetulan
belaka?
Sejumlah ahli mengemukakan bahwa legenda itu sengaja direncanakan
sebagai ide cemerlang untuk mengangkat Babilonia menjadi daerah yang
berkuasa. Para pemimpin kota menyadari bahwa seks akan lebih menarik dan
lebih cepat menjual dibanding cerita politik atau agama.
Hal inilah yang membuat proyek besar ini dirancang untuk jangka waktu
yang sangat panjang. Mereka membangun sebuah legenda tentang Pelacur Babilonia, sebuah tokoh mitos yang dihadirkan untuk menyampaikan kesan
bisnis prostitusi yang bergengsi dan memikat para pria hidung belang.
Menurut teori yang berkembang, dikisahkan Raja Babilonia dan
jajaran-jajaran kerajaan secara aktif menyebarluaskan mitos yang
menceritakan bahwa ada hura-hura dan pesta seks besar-besaran di kota
itu. Dengan demikian, reputasi Babilonia sebagai kota yang penuh nikmat
tersebur luas sehingga banyak lelaki berlomba-lomba ke kota itu demi
mencari kepuasan dan kenikmatan. Hal inilah yang secara luas juga
berdampak pada meningkatnya sektor perdagangan, bahkan pariwisata.
Kekayaan yang baru menumpuk ini diharapkan akan mampu mendorong kota
itu untuk bisa tumbuh hidup dan makmur. Bahkan di akhir abad ke-4
sebelum Masehi, Alexander Agung yang tergiur dengan godaan kota itu,
memerintahkan pasukannya beristirahat di Babilonia untuk menghabiskan
musim dingin.
Waktu demi waktu, yang terjadi tak seperti harapan. Legenda Pelacur
Babilonia lama kelamaan mulai tak mempan mendatangkan pria-pria. Citra
kemakmuran dan kekayaan yang dipancarkan oleh mitos Pelacur Babilonia
hanya bertahan semasa awal-awal Masehi dan berubah menjadi kesan dosa.
sumber : http://ruangkabar.com/sejarah-dunia-legenda-pelacur-babilonia-strategi-mengangkat-perekonomian-kota/
Pages
▼
Selasa, 24 Desember 2013
Makna Sejarah
Buku-buku sejarah
kelihatan tertata rapi di rak perpustakaan. Fisiknya masih tampak
bagus. Sepertinya tak pernah disentuh sama sekali oleh para pengunjung.
Apalagi dibaca. Setelah saya konfirmasikan dengan petugas, ternyata
benar. “Buku-buku sejarah jarang sekali peminatnya, pak,” tukasnya
dengan nada datar. Dalam catatan kami, selama dua bulan terakhir ini
tidak ada satupun pengunjung yang meminjam buku-buku sejarah,
sambungnya.
Disadari atau tidak, rendahnya kesadaran masyarakat terhadap sejarah turut serta mengantarkan negeri ini dalam situasi karut marut. Yang kuat tanpa belas kasihan menggagahi hak-hak mereka yang lemah. Para pemimpin mandi dengan kemewahan, sementara rakyat keramas dengan air matanya. Semboyan yang digunakan adalah “Jawa Barat-Jawa Timur, Rakyat melarat, pimpinan makmur”.
Guru hanya sibuk dengan ujian-ujian. Wakil rakyat bekerja untuk partai, bukan untuk rakyat. Kesadaran masyarakat berpolitik cukup besar, namun tidak berimplikasi terhadap ketahanan organisasi politik itu sendiri. Setiap kali pesta demokrasi, mulai dari pemilihan kepala desa, bupati, gubernur, anggota dewan, bahkan presiden tidak lepas dari adanya dugaan money politic. Akibatnya, pasca pemilu/kada terjadi anomali-anomali dalam penyelenggaraan birokrasi-pemerintahan. Korupsi pun terjadi di segala lini.
Pemberian monopoli sumber daya alam dan sektor ekonomi lainnya kepada pihak-pihak yang dekat dengan pusaran kekuasaan sudah bukan rahasia lagi. Menimbun barang, terutama Sembilan bahan pokok (sembako) masih kerap kita jumpai. Salah satu akibatnya, harga daging melambung. Demikian juga bawang merah dan bawang putih. Padahal, Bawang merah dan Bawang putih itu tak pernah rukun. Tapi, kali ini mereka berdua rukun berdampingan pada posisi harga yang tidak beda jauh.
Barangkali kita lupa. Karena itu, mari kita simak sejenak peristiwa revolusi Perancis (abad 18). Negara yang diperintah Raja Louis XVI itu mengalami krisis keuangan yang amat parah. Anggaran Negara selalu defisit, hutang negara menumpuk. Mengapa ? Karena raja dan bangsawan hidup bergelimang kemewahan dengan cara merampok uang rakyat.
Di negeri kita sendiri. Pada masa demokrasi liberal (1950-1959) muncul banyak partai politik. Politik dagang sapi sudah ada saat itu. Satu partai politik berkuasa, partai politik yang lain berusaha untuk menjatuhkannya. Sehingga, dalam kurun waktu 9 tahun terjadi 7 kali pergantian kabinet. Kecuali itu, persoalan hubungan pusat dan daerah juga muncul ke permukaan kala itu.
Di era reformasi hal itu terulang kembali. Kuantitas organisasi politik dikedepankan, sementara ketahanan dan efektifitas partai politik dipinggirkan. Demikian pula hubungan pusat dan daerah. Otonomi daerah yang secara konseptual cukup bagus, namun lemah dalam implementasinya. Dari tiga puluh delapan kewenangan pusat, 31 satu diantaranya diserahkan daerah. Hal ini menempatkan kepala daerah menjadi “raja kecil” di wilayahnya.
Mungkin kita juga lupa, bahwa pada tahun 1966 Mahasiswa Universitas Indonesia dan kesatuan aksi lainnya demo menuntut Pemerintah membubakran PKI, perbaikan ekonomi, dan membersihkan kabinet dari unsur PKI. Tuntutan tersebut kemudian kita kenal dengan Tritura atau tiga tuntutan rakyat.
Belum lama berselang, tahun 1998 terjadi demo besar-besaran menuntut Presiden Soeharto lengser. Salah satu penyebabnya adalah karena kesenjangan ekonomi akibat pemberian monopoli kepada pengusaha terutama keturunan Cina yang dekat dengan keluarga Cendana. Di era reformasi diulangi dengan memberikan mega proyek kepada orang-orang yang dekat dengan kekuasaan dan atau pihak-pihak yang turut memberikan andil memenangkan pada saat pemilu/kada.
Kalau kita mau belajar sejarah, mestinya hal itu tidak perlu terjadi. Kalau kita sadar akan pentingnya memahami sejarah, kesalahan-kesalahan tersebut tak akan terulang lagi. Kurangnya pemahaman yang benar terhadap sejarah dengan segala dinamikanya menggiring kita terperosok pada liang kesalahan yang sama.
Sejarah merupakan hal yang sangat penting. Bung Karno mengingatkan kepada kita, jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Dengan memahami serta memetik nilai dari peristiwa masa lampau, maka kita dapat menentukan sikap pada saat ini. Tindakan yang kita lakukan saat ini akan sangat menentukan kesukseskan kita di masa mendatang. Inilah yang kerap disebut tiga dimensi sejarah.
Sejarah memberikan sejumlah nilai yang amat berguna bagi kehidupan manusia kini dan yang akan datang. Selain berfungsi edukatif, inspiratif, dan rekreatif, sejarah juga berfungsi sebagai wahana melawan lupa. Penulis-penulis kondang seperti Wayan Sunarta, A.S. Laksana mengakui pentingnya sejarah. Sejarah selalu mengajari kita banyak hal. “Melawan lupa adala kewajiban kita semua. Mengenang dan merenungi semua peristiwa yang telah terjadi adalah upaya kita memahami sejarah,” paparnya.
Sejarah akan terus mengalir. Berjalan, menggelinding bersamaan dengan bumi mengelilingi matahari. Setiap warga Negara seyogianya memahami benar sejarah bangsanya sebagai jejak masa lalu dengan segala dinamikanya. Pemahaman yang benar atas sejarah akan melahirkan kesadaran sejarah. Kesadaran sejarah inilah yang akan menuntun masyarakat mengenal konsep diri sendiri sebagai bangsa. Ini penting karena niat dan kreativitas untuk membangun bangsa tidak akan pernah muncul tanpa kesadaran sejarah.
Terkecuali itu, kesadaran sejarah akan membangkitkan syahwat seseorang untuk membangun bangsanya. Masyarakat yang tidak pernah membaca buku sejarah maka dia tidak akan mengetahui revolusi yang pernah menggetarkan bangsanya. Akibatnya mereka akan kesulitan menjaga momentum pembangunan dan kemampuan kreatif bangsanya.
Oleh karena itu, saat ini merupakan momentum yang tepat untuk belajar sejarah. Caranya tidak ada jalan lain kecuali membaca buku-buku sejarah. Jangan takut dikatakan melawan jaman. Begitu seharusnya.
sumber : http://guru.or.id/menghadirkan-makna-sejarah.html
Senin, 09 Desember 2013
Sejarah Singkat Lubang Buaya

Siapa yang tak kenal dengan daerah Lubang Buaya? Waktu di bangku sekolah kita sering membahas soal sejarah yang berada di Lubang Buaya dimana kebiadaban G30S PKI pernah terjadi disana.
Mari kita
simak ulang terlebih dahulu tragedi Lubang Buaya beberapa puluh tahun silam. Pada
tanggal 30 September 1965, ditemukan 6 jenazah para jendral dan 1 jenazah lagi
yang merupakan seorang letnan TNI yang terkubur di sebuah sumur di daerah
Lubang Buaya.
Singkat saja,
konon ke tujuh korban tersebut ditemukan dalam kondisi yang mengenaskan. Mereka
dibunuh dengan cara disiksa terlebih dahulu oleh anggota PKI yang pada jaman
dahulu melakukan pemberontakan.
Ternyata, tragedi
yang sudah terjadi selama puluhan tahun tersebut masih bisa dirasakan hingga
kini. Konon, arwah ketujuh korban tersebut masih berada di sekitar lokasi
tempat ditemukan mayatnya.
Banyak saksi
mata yang sering mengalami kejadian mistis dan misterius disana. Terkadang mereka
mendengar suara jeritan kesakitan laki-laki, selain itu suara-suara langkah
barisan tentara pun sering terdengar ketika waktu sudah memasuki tengah malam.
Konon,
sosok-sosok yang menyerupai ketujuh korban juga sering melintasi wilayah
tersebut. Banyak yang menduga bahwa itu adalah arwah dari korban G30S PKI yang
masih penasaran.
Wajar saja,
karena kematian mereka begitu tragis. Disiksa habis-habisan hingga mati
merupakan perlakuan yang sama sekali bukan manusiawi.
Misteri Lubang
Buaya tersebut hingga kini belum bisa terlupakan. Beberapa kisahnya pun sempat
diangkat kedalam acara-acara televisi swasta.
Sumber : http://wisata-misteri-indonesia.blogspot.com/2013/05/misteri-dan-sejarah-singkat-lubang-buaya.html
Sejarah Kematian Soekarno
Dewi Sukarno a.k.a. Madame Syuga saat muda
“Kematian Bung Karno sengaja diatur terjadi pada 1970, agar Pemilu Indonesia di 1971 yang merupakan pemilu pertama yang digelar pemerintahan Orde Baru, dapat terlaksana. Pelaksanaan Pemilu 1971, secara politis tidak terkendala.” (Ratna Sari Dewi Soekarno a.k.a. Naoko Nemoto)
Ratna Sari Dewi Soekarno, sudah lama tidak terdengar. Salah satu hal menarik dari wanita asal Jepang itu, setiap kehadirannya di Jakarta selalu menciptakan berita.
Kalau bukan soal kecantikan, yah pernyataannya. Dewi saat ini sudah berusia 72 tahun, lahir 6 Februari 1940. Tapi penampilannya belum seperti nenek-nenek.
Ia masih berdandan seperti wanita berusia 40-an tahun atau setengah abad. Dandanannya masih tetap trendy dan sisa kecantikannya belum hilang.
Ketika demam Soekarno kembali muncul di Indonesia pada 1988 Dewi Soekarno pernah membuat pernyataan yang cukup mengejutkan.
Menurut dia, suaminya, Soekarno (Bung Karno) yang juga Proklamator RI, meninggal secara tidak wajar.
Kata wanita asal Jepang yang bernama asli Naoko Nemoto itu, kematian Bung Karno sengaja diatur terjadi pada 1970, agar Pemilu Indonesia di 1971 yang merupakan pemilu pertama yang digelar pemerintahan Orde Baru, dapat terlaksana. Pelaksanaan Pemilu 1971, secara politis tidak terkendala.
Dewi menjelaskan, akan sangat janggal bagi penglihatan dunia internasional jika Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto menggelar Pemilu di 1971.
Sebab pada saat itu, Indonesia tengah memiliki Presiden Kembar: Soekarno (de jure) dan Soeharto (de facto). Oleh karena itu sebelum Pemilu 1971, Soekarno harus disingkirkan (dilenyapkan).
Soeharto dilantik menjadi presiden setelah mengeluarkan Supersemar ke presiden Sukarno
Pernyataan Dewi itu merupakan salah satu penggalan dari wawancaranya dengan Tabloid Detak. Media yang dikelolah Eros Djarot, sutradara film yang dikenal dekat dengan puteri Bung Karno, Megawati pada saat itu, tidak berusia panjang.
Tabloid yang diterbitkan dari Gedung Prioritas, Jl.Gondangdia Lama, Jakarta, tempat Surya Paloh menerbitkan harian Prioritas dan majalah Vista ketika itu, kemudian menghentikan penerbitannya dan sebagian krunya lalu meluncurkan media internet Detik Dotkom.
Pernyataan Dewi tersebut tidak berhenti di situ. Ia menuduh, sebelum meninggal, rezim militer sengaja mengisolasi Soekarno di Wisma Yaso, sekarang Museum Mandala di Jl Gatot Subroto, Jakarta.
Pengucilan dimaksudkan agar suaminya itu mengalami kehidupan yang stress.
Setelah itu ada alasan untuk membawa Bung Karno ke rumah sakit.
Tapi Dewi yang saat Bung Karno menjalani kehidupan sebagai tahanan rumah sedang mengasingkan diri di Paris, Prancis mengaku, mendapatkan informasi tentang keadaan Bung Karno setelah ia mewawancarai para pembantu yang merawat almarhum.
“Bapak (Soekarno) meronta dan berteriak-teriak bahwa dia tidak sakit, ketika sejumlah dokter yang dikawal militer menjemputnya untuk dibawa ke rumah sakit,” berkata Dewi kepada Tabloid Detak.
Pernyataan Dewi itu secara resmi tidak perah dibenarkan ataupun dibantah oleh pemerintahan Orde Baru. Namun isunya kemudian tenggelam dan dilupakan orang begitu saja.
Tapi boleh jadi akuntabilitas Dewi sebagai sumber berita melemah, sebab prilaku Dewi di masyarakat pun, banyak yang tidak patut.
Di 1992, Dewi dilaporkan pernah berkelahi di sebuah pesta dengan anak bekas Presiden Filipina, Minnie Osmena.
Dewi melempar wajah sosialita yang tinggal di Amerika Serikat itu dengan gelas anggur menyebabkan wajah wanita asal Filipina itu harus mendapat jahitan pengobatan. Dewi sendiri harus meringkuk di penjara California selama 37 hari.
Sumber : http://forum.viva.co.id/sejarah/904714-mengungkap-sejarah-kematian-soekarno.html
Rabu, 27 November 2013
Sejarah Manusia Purba Pertama di Indonesia
Catatan dari ‘Eden In The East, The Drowned Continent’ karya Stephen
OppenheimerPara ahli sejarah umumnya berpendapat bahwa Asia Tenggara
adalah kawasan ‘pinggir’ dalam sejarah peradaban manusia. Dengan
kata lain, peradaban Asia Tenggara bisa maju dan berkembang karena
imbas-imbas migrasi, perdagangan, dan efek-efek yang disebabkan
peradaban lain yang digolongkan lebih maju seperti Cina, India, Mesir,
dan lainnya. Buku Eden In The East yang ditulis Oppenheimer seolah
mencoba menjungkirbalikkan pendapat meinstream tersebut.
Oppenheimer mengemukakan pendapat bahwa justru peradaban-peradaban maju di dunia merupakan buah karya manusia yang pada mulanya menghuni kawasan yang kini menjadi Indonesia. Oppenheimer tidak main-main dalam mengemukakan pendapat ini. Hipotesisnya disandarkan kepada sejumlah kajian geologi, genetik, linguistik, etnografi, serta arkeologi.Gagasan diaspora manusia dari kawasan Asia Tenggara dicoba untuk direkonstruksi dari peristiwa di akhir zaman es (Last Glacial Maximum) pada sekitar 20.000 tahun yang lalu. Pada saat itu, permukaan laut berada pada ketinggian 150 meter di bawah permukaan laut di zaman sekarang. Kepulauan Indonesia bagian barat, masih menyatu dengan benua Asia sebagai sebuah kawasan daratan maha luas yang disebut Paparan Sunda.
Ketika perlahan-lahan suhu bumi memanas, es di kedua kutub bumi mencair dan menyebabkan naiknya permukaan air laut, sehingga timbul banjir besar. Penelitian oseanografi menunjukan bahwa di Bumi ini pernah tiga kali terjadi banjir besar pada 14.000, 11.000, dan 8.000 tahun yang lalu. Banjir yang terakhir adalah peristiwa yang menyebabkan kenaikan permukaan air laut hingga setinggi 8-11 meter dari tinggi permukaan asalnya. Banjir tersebut mengakibatkan tenggelamnya sebagian besar kawasan Paparan Sunda hingga terpisah-pisah menjadi pulau-pulau yang kini kita kenal sebagai Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Bali.
Oppenheimer mengemukakan bahwa saat itu, kawasan Paparan Sunda telah dihuni oleh manusia dalam jumlah besar. Karena itulah, menurutnya, hampir semua kebudayaan dunia memiliki tradisi yang mengisahkan cerita banjir besar yang menenggelamkan sebuah daratan. Kisah-kisah semacam banjir Nabi Nuh as, olehnya dianggap sebagai salah satu bentuk transfer informasi antar generasi manusia tentang peristiwa mahadahsyat tersebut.
Menurut Oppenheimer, setelah terjadinya banjir besar tersebut, menusia mulai menyebar ke belahan bumi lainnya. Oppenheimer menyatakan bahwa hipotesisnya ini disokong oleh rekonstruksi persebaran linguistik terbaru yang dikemukakan Johanna Nichols. Nichols memang mencoba mendekonstruksi persebaran bahasa Austronesia. Sebelumnya, Robert Blust (linguis) dan Peter Bellwood (arkeolog) menyatakan bahwa persebaran bahasa-bahasa Austronesi a berasal dari daratan Asia ke Formosa (Taiwan) dan Cina Selatan (Yunnan) sebelum sampai ke Filipina, Indonesia, kepulauan Pasifik dan Madagaskar. Nichols menyatakan konstruksi yang terbalik di mana bahasa-bahasa Austronesia menyebar dari Indonesia-Malaysia ke kawasan-kawasan lainnya dan menjadi induk dari bahasa-bahasa dunia lainnya.
Oppenheimer berkeyakinan bahwa penduduk Malaysia, Sumatera, Jawa, dan Kalimantan dewasa ini adalah keturunan dari para penghuni Paparan Sunda yang tidak hijrah setelah tenggeamnya sebagian kawasan tersebut. Dengan kata lain, ia hendak mengemukakan bahwa persebaran manusia di dunia berasal dari kawasan ini.
Pendapatnya ia perkuat dengan mengemukakan analisa tentang adanya kesamaan benda-benda neolitik di Sumeria dan Asia Tenggara yang diketahui berusia 7.500 tahun. Kemudian ciri fisik pada patung-patung peninggalan zaman Sumeria yang memiliki tipikal wajah lebar (brachycepalis) ala oriental juga memperkuat hipotesis tersebut.
Oppenhimer juga yakin bahwa tokoh dalam kisah Gilgamesh yang dikisahkan sebagai satu-satunya tokoh yang selamat dari banjir besar adalah karakter yang sama dengan Nabi Nuh as dalam kitab Bible dan Qur’an yang tak lain adalah karakter yang berhasil menyelamatkan diri dari banjir besar yang menenggelamkan paparan Sunda. Legenda Babilonia tua mengisahkan pula kedatangan tujuh cendekiawan dari timur yang membawa keterampilan dan pengtahuan baru. Kisah yang sama terdapat pula di dalam India kuno di Hindukush. Varian legenda semacam ini pun ternyata tersebar di kepulauan Nusantara dan Pasifik.
Oppenheimer lebih lanjut mengemukakan bahwa kisah yang serupa dengan kisah penciptaan Adam dan Hawa serta pertikaian Kain dan Abel (Qabil dan Habil) ternyata dapat ditemukan di kawasan Asia Timur dan Kepulauan Pasifik. Misalnya orang Maori di Selandia Baru, menyebut perempuan pertama dengan nama ‘Eeve’. Kemudian di Papua Nugini, kisah yang serupa dengan Kain dan Abel ada dalam wujud Kullabop dan Manip. Tradisi-tradisi di kawasan ini juga mengemukakan bahwa manusia pertama di buat dari tanah lempung yang berwarna merah.
Atas dasar berbagai hipotesis tersebut pula, Oppenheimer meyakini bahwa Taman Eden yang disebut-sebut dalam Bible ada di Paparan Sunda. Berbicara tentang Hipotesis Oppenheimer ini, saya juga jadi teringat salah satu ayat dalam Kitab Genesis yang dengan jelasmenyebut bahwa Eden ada di Timur. Mungkinkah Taman Eden memang berlokasi di Indonesia? Dan Manusia Pertama pun ditempatkan Tuhan di Indonesia.
Oppenheimer mengemukakan pendapat bahwa justru peradaban-peradaban maju di dunia merupakan buah karya manusia yang pada mulanya menghuni kawasan yang kini menjadi Indonesia. Oppenheimer tidak main-main dalam mengemukakan pendapat ini. Hipotesisnya disandarkan kepada sejumlah kajian geologi, genetik, linguistik, etnografi, serta arkeologi.Gagasan diaspora manusia dari kawasan Asia Tenggara dicoba untuk direkonstruksi dari peristiwa di akhir zaman es (Last Glacial Maximum) pada sekitar 20.000 tahun yang lalu. Pada saat itu, permukaan laut berada pada ketinggian 150 meter di bawah permukaan laut di zaman sekarang. Kepulauan Indonesia bagian barat, masih menyatu dengan benua Asia sebagai sebuah kawasan daratan maha luas yang disebut Paparan Sunda.
Ketika perlahan-lahan suhu bumi memanas, es di kedua kutub bumi mencair dan menyebabkan naiknya permukaan air laut, sehingga timbul banjir besar. Penelitian oseanografi menunjukan bahwa di Bumi ini pernah tiga kali terjadi banjir besar pada 14.000, 11.000, dan 8.000 tahun yang lalu. Banjir yang terakhir adalah peristiwa yang menyebabkan kenaikan permukaan air laut hingga setinggi 8-11 meter dari tinggi permukaan asalnya. Banjir tersebut mengakibatkan tenggelamnya sebagian besar kawasan Paparan Sunda hingga terpisah-pisah menjadi pulau-pulau yang kini kita kenal sebagai Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Bali.
Oppenheimer mengemukakan bahwa saat itu, kawasan Paparan Sunda telah dihuni oleh manusia dalam jumlah besar. Karena itulah, menurutnya, hampir semua kebudayaan dunia memiliki tradisi yang mengisahkan cerita banjir besar yang menenggelamkan sebuah daratan. Kisah-kisah semacam banjir Nabi Nuh as, olehnya dianggap sebagai salah satu bentuk transfer informasi antar generasi manusia tentang peristiwa mahadahsyat tersebut.
Menurut Oppenheimer, setelah terjadinya banjir besar tersebut, menusia mulai menyebar ke belahan bumi lainnya. Oppenheimer menyatakan bahwa hipotesisnya ini disokong oleh rekonstruksi persebaran linguistik terbaru yang dikemukakan Johanna Nichols. Nichols memang mencoba mendekonstruksi persebaran bahasa Austronesia. Sebelumnya, Robert Blust (linguis) dan Peter Bellwood (arkeolog) menyatakan bahwa persebaran bahasa-bahasa Austronesi a berasal dari daratan Asia ke Formosa (Taiwan) dan Cina Selatan (Yunnan) sebelum sampai ke Filipina, Indonesia, kepulauan Pasifik dan Madagaskar. Nichols menyatakan konstruksi yang terbalik di mana bahasa-bahasa Austronesia menyebar dari Indonesia-Malaysia ke kawasan-kawasan lainnya dan menjadi induk dari bahasa-bahasa dunia lainnya.
Oppenheimer berkeyakinan bahwa penduduk Malaysia, Sumatera, Jawa, dan Kalimantan dewasa ini adalah keturunan dari para penghuni Paparan Sunda yang tidak hijrah setelah tenggeamnya sebagian kawasan tersebut. Dengan kata lain, ia hendak mengemukakan bahwa persebaran manusia di dunia berasal dari kawasan ini.
Pendapatnya ia perkuat dengan mengemukakan analisa tentang adanya kesamaan benda-benda neolitik di Sumeria dan Asia Tenggara yang diketahui berusia 7.500 tahun. Kemudian ciri fisik pada patung-patung peninggalan zaman Sumeria yang memiliki tipikal wajah lebar (brachycepalis) ala oriental juga memperkuat hipotesis tersebut.
Oppenhimer juga yakin bahwa tokoh dalam kisah Gilgamesh yang dikisahkan sebagai satu-satunya tokoh yang selamat dari banjir besar adalah karakter yang sama dengan Nabi Nuh as dalam kitab Bible dan Qur’an yang tak lain adalah karakter yang berhasil menyelamatkan diri dari banjir besar yang menenggelamkan paparan Sunda. Legenda Babilonia tua mengisahkan pula kedatangan tujuh cendekiawan dari timur yang membawa keterampilan dan pengtahuan baru. Kisah yang sama terdapat pula di dalam India kuno di Hindukush. Varian legenda semacam ini pun ternyata tersebar di kepulauan Nusantara dan Pasifik.
Oppenheimer lebih lanjut mengemukakan bahwa kisah yang serupa dengan kisah penciptaan Adam dan Hawa serta pertikaian Kain dan Abel (Qabil dan Habil) ternyata dapat ditemukan di kawasan Asia Timur dan Kepulauan Pasifik. Misalnya orang Maori di Selandia Baru, menyebut perempuan pertama dengan nama ‘Eeve’. Kemudian di Papua Nugini, kisah yang serupa dengan Kain dan Abel ada dalam wujud Kullabop dan Manip. Tradisi-tradisi di kawasan ini juga mengemukakan bahwa manusia pertama di buat dari tanah lempung yang berwarna merah.
Atas dasar berbagai hipotesis tersebut pula, Oppenheimer meyakini bahwa Taman Eden yang disebut-sebut dalam Bible ada di Paparan Sunda. Berbicara tentang Hipotesis Oppenheimer ini, saya juga jadi teringat salah satu ayat dalam Kitab Genesis yang dengan jelasmenyebut bahwa Eden ada di Timur. Mungkinkah Taman Eden memang berlokasi di Indonesia? Dan Manusia Pertama pun ditempatkan Tuhan di Indonesia.
Sumber : http://forum.viva.co.id/sejarah/1269863-sejarah-kehidupan-manusia-purba-pertama-di-indonesia.html
Perang Jawa -3 ( 1825 – 1830 ) Perjuangan Islam Melawan Penjajah
Seruan ini disambut baik oleh Kiai Mojo,
seorang ulama besar dari daerah Mojo-Solo; yang datang bersama barisan
santrinya menggabungkan diri dengan pasukan Diponegoro; ia menyerukan
‘perang sabil’ terhadap pihak penguasa kolonial Belanda. Jejak Kiai Mojo
dengan santrinya, diikuti oleh para ulama dan santri-santri dari Kedu
dibawah pimpinan Pangeran Abubakar; juga Muhamad Bahri, penghulu
Tegalrejo. Perang sabil menentang penguasa kolonial Belanda-Kristen
meledak membakar hampir seluruh tanah Mataram, bahkan sampai ke Jawa
Timur dan Jawa Barat. Tampilnya Alibasah Abdul Mustafa Prawiradirja
(Sentot) dan sebagian para bangsawan di kalangan penguasa kolonial
Belanda dan kraton Yogyakarta. Akhimya diutuslah Pangeran Mangkubumi
(paman Diponegoro) ke Tegakejo untuk memanggil Diponegoro ke kraton.
Semula Diponegoro bersedia datang ke kraton, apabila ada jaminan dari
Paugeran Mangkubumi bahwa ia tidak akan ditangkap. Tetapi karena
Mangkubumi sendiri tidak berani menjamin dan bahkan ia sendiri tidak
akan kembali lagi ke Yogyakarta, maka Diponegoro memperkuat diri dengan
pasukan rakyat yang telah melakukan bai’ah (janji setia perjuangan).
Melihat kegagalan Pangeran Mangkubumi ini
untuk memanggil Diponegoro, Residen A.H. Smisaert mengutus kembali dua
orang bupati yang dikawal dengan sepasukan militer. Sebelum utusan
Belanda ini sampai, Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang sedang
berunding menjadi terhenti, karena mendengar letusan senjata dan
tembakan meriam yang ditujukan ke arah rumah Diponegoro. Serangan
Belanda terhadap tempat kediaman Diponegoro, mengakibatkan Diponegoro
dan Pangeran Mangkubumi yang disertai kawalan pasukan rakyat mengungsi
ke daerah selarong, guna selanjutnya melancarkan peperangan untuk
mengusir penguasa kolonial Belanda dari daerah kekuasaan kesultanan
yogyakarta, khususnya dan Jawa umumnya. Peristiwa ini terjadi pada
tanggal 20 Juli 1825 dan disebut sebagai permulaan “Perang Jawa”.
Yogyakarta seperti antara lain Pangeran
Ngabehi Jayakusuma, putera Sultan Hamengku Buwono II dan pangeran
Mangkubumi melengkapi “Perang Jawa” yang dahsyat.
Strategi perang gerilya yang dipergunakan
oleh Diponegoro dengan taktik “serang dengan tiba-tiba pasukan musuh
kemudian menghilang-bersembunyi”, merupakan strategi dan taktik yang
dapat melumpuhkan pasukan kolonial Belanda; setidak-tidaknya pada awal
perang Jawa.
Berita pecahnya perang Jawa sangat
mengejutkan pihak Gubernur Jenderal Van der Capellen di Batavia.
Karenanya pada tanggal 26 Juli 1825, ia telah memutus¬kan untuk
mengirimkan pasukan dari Batavia langsung di bawah pimpinan Letnan
Jenderal Hendrik Marcus De Kock, pimpinan tertinggi militer Hindia
Belanda. Pada tanggal 29 Juli 1825 Let. Jend. De Kock telah tiba di
Semarang untuk memimpin langsung operasi militer terhadap pasukan
Diponegoro.
Pasukan kolonial Belanda yang dipimpin
oleh Kapten Kumsius dengan kekuatan 200 prajurit, yang dikirim dari
Semarang, di daerah pisangan dekat Magelang disergap oleh pasukan
Diponegoro di bawah pimpinan Mulya Sentika. Hampir seluruh pasukan
Belanda berhasil dimusnahkan dan seluruh perlengkapan dan
persenjataannya dirampas.
Kekalahan pertama, menyebabkan Belanda
me¬ngirimkan pasukan yang lebih besar dari Semarang dan dipimpin oleh
Kolonel Von Jett untuk langsung me¬nyerang Selarong, markas besar
pasukan Diponegoro. Tetapi serangan ini gagal, karena pasukan Diponegoro
telah mengosongkan Selarong. Tatkala pasukan Belanda meninggalkan
Selarong, di perjalanan, di tempat-tempat yang atrategis, pasukan
Belanda diserang; sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar
Ibukota Yogyakarta di kepung oleh pasukan
Diponegoro, sehingga pasukan kesultanan Yogyakarta dan Belanda
terjepit, bahkan Sultan Hamengku Buwono V bersembunyi di benteng Beianda
untuk menyelamatkan diri. Pada tanggal 28 Juli 1825, Belanda
mengirimkan pasukan komando gabungan antara pasukan Belanda dan
Mangkunegara dari Surakarta untuk menembus barikade pasukan Diponegoro
di Yogyakarta, guna menyelamatkan pasukan Belanda dan Sultan Hamengku
Buwono V yang terkurung. Tetapi pasukan komando gabungan Belanda
Mangkunegara di bawah pimpinan Raden Mas Suwangsa di Randu Gunting dekat
Kalasan disergap oleh pasukan Diponegoro dibawah pimpinan Tumenggung
Surareja. Sergapan ini berhasil dengan baik dan Raden Mas Suwangsa,
pimpinan komando gabungan itu sendiri tertangkap dan dibawa ke Selarong,
markas besar pasukan Diponegoro.
Operasi militer Belanda yang senantiasa
mengalami kekalahan, maka Let. Jend. De Kock menempuh jalan diplomasi,
dengan jalan mengirim surat kepada Diponegoro; surat pertama tertanggal 7
Agustus 1825 dan surat kedua tertanggal 14 Agustus 1825. Isi
surat-surat itu menyatakan keinginan Belanda untuk berunding dan
bersedia memenuhi tuntutan-tuntutan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi,
dengan syarat: pertempuran dihentikan. Surat Let. Jend. De Kock
diperkuat oleh surat Susuhunan Surakarta, tertanggal 14 Agustus 1825.
Surat-surat baik dari De Kock maupun dari Susuhunan Surakarta, semuanya
dijawab oleh Diponegoro, dengan menekankan bahwa Perang Jawa ini terjadi
karena kesalahan Belanda yang bertindak otoriter dan zalim, yang
dibantu oleh pasukan militer Susuhunan Surakarta. Perdamaian yang
diajukan oleh Belanda dan Susuhunan Surakarta ditolak; kecuali pasukan
kolonial Belanda angkat kaki dari bumi Mataram. Jalan diplomasi gagal.
Karena tidak ada jalan lain, De Kock
sebagai panglima tertinggi pasukan Hindia Belanda, mengerahkan
pasukannya dari berbagai daerah Batavia: Bone, Madura, Bali, Ambon dan
lain-lain untuk dipusatkan di sekitar Yogyakarta; guna menembus barikade
pasukan Diponegoro. Baru pada tanggal 25 September 1825, De Kock dengan
pasukan komando gabungan yang besar sekali berhasil memasuki Yogyakarta
menyelamatkan pasukan Belanda yang terkepung dan Sultan Hamengku Buwono
V.
Pertempuran antara pasukan Belanda dengan
pasukan Diponegoro tidak hanya terjadi di sekitar Yogyakarta, tetapi
juga menjalar dan terjadi di Magelang, Semarang, Pekalongan, Banyumas,
Bagelen dan daerah Kedu seluruhnya. Pertempuran makin hari makin meluas,
menjalar ke daerah Jawa Timur seperti Madiun, Ngawi dan Pacitan.
Pertempuran yang luas itu memang melumpuhkan dan melelahkan pasukan
kolonial Belanda dan para kolaborator; bahkan serangan kedua ke markas
besar Selarong; tidak berhasil menangkap dan me¬lumpuhkan pasukan
Diponegoro.
Pada tahun-tahun pertama (1825 -1826)
pasukan Diponegoro memperoleh banyak kemenangan. Dengan pasukan-pasukan
berkuda, mereka dapat bergerak capat dan mobile dari satu daerah ke
daerah lain, dari satu pertempuran ke pertempuran lain dan selalu lolos
dari kepungan pasukan musuh yang jauh lebih besar jumlahnya.
Tetapi sejak tahun 1827 pasukan kolonial
Belanda mulai unggul, selain karena besarnya bala-bantuan yang
didatangkan dari daerah-daerah, tetapi juga merubah strategi pertempuran
yang selama ini ditempuh. Let. Jend. De Kock, selaku panglima tertinggi
Hindia melaksanakan “sistem benteng” dalam operasi militernya. Pasukan
Belanda mendirikan benteng-benteng di wilayah yang telah dikuasai
kembali. Antara benteng yang satu dengan benteng yang lain dibuat jalan
se¬hingga pasukan dapat bergerak dengan cepat. Dengan sistem benteng
itu, pasukan Diponegoro tidak lagi dapat bergerak dengan leluasa;
hubungan antar pasukan menjadi sukar. Tiap pasukan terpaku pada daerah
operasinya masing-masing. Gerakan mobile dan cepat yang selama ini
menjadi ciri pasukan Diponegoro menjadi lumpuh.
Daerah-daerah yang dikuasai kembali oleh
Belanda didirikanlah benteng-benteng seperti di Minggir, Groyak, Bantul,
Brosot; Puluwatu, Kejiwan, Telagapinian, Danalaya, Pasar Gede,
Kemulaka, Trayema, Jatianom, Delanggu, Pijenan.
Di daerah-daerah pertempuran sebelah
timur, benteng-benteng itu terdapat di Rembang, Bancar, Jatiraga, Tuban,
Rajegwesi, Blantunan, Blora, Pamotan, Babat, Kopas dan lain-lain.
Di daerah-daerah pertempuran sebelah barat, benteng-benteng didirikan di Pakeongan, Kemit, Panjer, Merden dan lain lain.
Sistim benteng ini memang dapat
melumpuhkan pasukan Diponegoro, apalagi setelah Sultan Sepuh yang telah
berusia 70 tahun diangkat kembali menjadi Sultan Yogyakarta, yang secara
psikologi sangat mempengaruhi pasukan Diponegoro.
Oleh karena itu, berkat usaha Van Lawick
von Pabst, Residen Yogyakarta, maka pada tanggal 21 Juni 1827, Pangeran
Natapraja dan Pangeran Serang Sutawijaya beserta para pengikutnya lebih
kurang 850 orang menyerah kepada Belanda dan diperlakukan dengan baik.
Penyerahan Pangeran Natapraja dan
Pangeran Serang adalah pukulan yang besar sekali bagi perang Jawa. Sebab
dengan menyerahnya kedua orang pemimpin ini, maka daerah rawan dan
daerah pertempuran di sebelah timur kehilangan pimpinan. Seperti telah
dimaklumi bahwa kedua orang inilah yang memimpin pasukan Diponegoro di
medan pertempuran sebelah timur, mengancam Semarang dan Demak.
Walau demikian, pukulan hebat ini tidak
menyebabkan pasukan Diponegoro berputus asa. Di kota Gede Yogyakarta
telah terjadi pertempuran yang seru antara pasukan Diponegoro di bawah
pimpinan Mas Tumenggung Reksasentana melawan pasukan kolonial Belanda.
Pertempuran ini terjadi karena usaha Belanda untuk menggiring pasukan
Diponegoro untuk berada di daerah antara Sungai Progo dan Sungai
Begowonto.
Pertempuran terus berlangsung, tetapi
usaha diplomasi juga dijalankan oleh Belanda, apalagi setelah kedua
Pangeran tersebut menyerah.Usaha diplomasi menunjukkan hasil yang
menggembirakan, dengan diselenggarakannya perundingan antara pasukan
Diponegoro di bawah pimpinan Kiai Mojo dan Pangeran Ngabehi Abdul Rahman
dengan pasukan Belanda di bawah pimpinan Stavers pada tanggal 29
Agustus 1827 di Cirian-Klaten.
Perundingan ini tidak membuahkan suatu
hasil apapun bagi kedua belah pihak. Tuntutan-tuntutan yang diajukan
oleh Kiai Mojo dianggap terlalu berat oleh pihak Belanda, sebaliknya
syarat-syarat yang diajukan oleh Belanda, termasuk janji-janji untuk
memberikan kekuasaan yang luas kepada Diponegoro, tidak dapat diterima
oleh Kiai Mojo.
Perundingan yang gagal pada bulan Agustus
1827, mengakibatkan pada bulan September 1827 berkobar lagi pertempuran
antara pasukan Diponegoro dengan pasukan kolonial Belanda di
daerah-daerah Klaten, Puluwatu, Kemulaka dan Yogyakarta. Operasi militer
Belanda yang besar ini langsung dipimpin oleh Jenderal Van Geen.
Pada tanggal 10 Oktober 1827 diadakan
kembali gencatan senjata untuk mengadakan perundingan perdamaian antara
kedua belah pihak, bertempat di Gamping. Pihak Belanda di pimpin oleh
Letnan Roeps, seorang opsir Belanda yang pandai berbahasa Jawa,
sedangkan dipihak Diponegoro di pimpin oieh Tumeng¬gung Mangun Prawira.
Tetapi perundingan inipun gagal, sebab tuntutan mengenai pelaksanaan
syari’at Islam, seperti pernah diajukan pada perundingan pertama, sangat
ditentang delegasi Belanda.
Kegagalan perundingan kedua ini, diikuti
oleh operasi militer Belanda secara besar-besaran di bawah pimpinan
Kolonel Cochius dan Sollewijn menyerang daerah-daerah sebelah selatan
Yogyakarta, Plered, Tegalsari, Semen dan-lain. Pada tanggal 25 Oktober
1827 pasukan Belanda di bawah Mayor Sollewijn menyerbu markas perjuangan
Diponegoro di Banyumeneng, tetapi Diponegoro dengan pasukan-pasukannya
berhasil menghindar. Tetapi dalam perjalanan pulang pasukan Sollewijn
berhasil dijebak dan diserang oleh pasukan Diponegoro, sehingga
memporak-porandakan pasukan Belanda; dan hanya dengan susah payah
pasukan Sollewijn dapat menyeberangi sungai Progo, terus masuk ke kota
Yogyakarta.
Pertempuran yang terjadi setelah
kegagalan perundingan kedua ini, bukan hanya terjadi di sekitar
Yogyakarta saja, tetapi juga terjadi dan berkecamuk di daerah-daerah
Kedu, Banyumas, Bagelen, Bojonegoro, Rembang, Tuban. Hanya dengan susah
payah, pasukan Belanda bisa bertahan dan menyelamatkan diri.
Pertempuran yang timbul berkecamuk lagi
ini, mendorong Jenderal De Kock untuk mengerahkan bala ¬bantuan,
termasuk dari negeri Belanda sendiri. Dan memusatkan markas besarnya di
kota Magelang pada tanggal 13 Maret 1828; dengan menempatkan markas
besarnya di Magelang, maka pasukan Belanda dapat beroperasi lebih
mobile, karena tempat itu sangat strategis untuk menjangkau
daerah-daerah Semarang di utara, Surakarta di timur, Yogyakarta di
selatan dan Banyumas di barat. Strategi ini cukup berhasil, karena
daerah Kedu hampir seluruhnya dapat diamankan oleh pasukan Belanda.
Keunggulan Belanda di bidang militer,
diikuti dengan kemenangan di bidang.diplomasi, di mana pada tanggal 28
April 1828, Pangeran Natadiningrat beserta isteri, ibu dan kira-kira 20
orang pasukannya menyerah kepada Letnan Kolonel Sollewijn. Penyerahan
Natadiningrat ini sangat menggembirakan Belanda, karena sampai waktu
itu; bolehlah dikatakan tidak ada keluarga terdekat Diponegoro dan
Pangeran Mangkubumi yang menyerah kepada Belanda. Pangeran Natadiningrat
adalah putera kesayangan Pangeran Mangkubumi yang diharapkan oleh
Belanda dapat membujuk ayahnya sendiri untuk menyerah kepada Belanda dan
meninggalkan Diponegoro.
Selain itu, pasukan Diponegoro di daerah
Rembang di bawah pimpinan Tumenggung Sasradilaga, yang semula berhasil
memukul mundur pasukan Belanda, lambat-laun mulai terjepit dan akhirnya
pada tanggal 3 oktober 1828 menyerah pula kepada Belanda.
Kemudian operasi militer Belanda berhasil
mempersempit daerah operasi pasukan Diponegoro dengan jalan
menggiringnya ke daerah antara sungai Progo dan sungai Bogowonto. Usaha
berhasil, setelah pertempuran sengit dengan pasukan Diponegoro di daerah
Belige di bawah pimpinan Pangeran Bei pada tanggal 31 Maret 1828.
Dengan daerah gerak yang makin sempit, sangat memungkinkan pasukan
Belanda yang besar itu dapat mengurung pasukan Diponegoro. Apalagi
banyak pasukan bekas anak buah Diponegoro yang menyerah kepada Belanda
diikut-sertakan dalam operasi militer ini.
Dalam posisi terus terdesak dan terjepit,
pasukan Diponegoro bukan hanya kekurangan persenjataan, tetapi juga
kekurangan suplai bahan makanan. Tambah ironis, dalam situasi semacam
itu di kalangan pimpinan pasukan Diponegoro terjadi perpecahan; sehingga
dengan tiba-tiba pada tanggal 25 Oktober 1828 Kiai Mojo dengan
pasukannya menyatakan keinginannya untuk berunding dan mengadakan
gencatan senjata dengan Belanda.
Pada tanggal 31 oktober 1828 perundingan
berlangsung di Mlangi antara Kiai Mojo dengan delegasi Belanda di bawah
pimpinan Letnan Kolonel Wiranegara, komandan pasukan kraton Yogyakarta.
Perundingan dengan pengawalan yang ketat oleh pasukan Betanda, berakhir
gagal. Perundingan kedua dilanjutkan lagi pada tanggal 5 Nopember 1828,
dengan pengawalan ketat oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan
Kolonel Le Bron de Vexela; juga berakhir dengan kegagalan.
Ketika perundingan gagal, Kiai Mojo
beserta pasukannya kembali ke tempat semula, tetapi senantissa diikuti
oleh pasukan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela. Dengan tiba-tiba pasukan
Le Bron menyerang pasukan Kiai Mojo, tetapi gagal karena semua prajurit
Kiai Mojo telah siap mati syahid. Letnan Kolonel Le Pron tak kehabisan
akal untuk dapat menangkap Kiai Mojo. Tipu muslihat yang licik dan keji
dipergunakan oleh Le Bron dengan mengajak berpura-pura untuk melanjutkan
perundingan di Klaten. Kiai Mojo dengan pasukannya menyetujui tawaran
ini. Kiai Mojo dengan pasukannya memasuki kota Klaten dengan
nyanyian-nyanyian agama seolah-olah sebuah pasukan yang menang perang
dari medan pertempuran.
Setelah sampai Klaten, Kiai Mojo diajak
oleh Letnan Kolonel Le Bron de Vexela masuk ke sebuah gedung, sedangkan
pssukannya beristirahat di luar. Dengan serta-merta Kiai Mojo ditangkap
dan pasukannya yang sedang lengah disergap oleh pasukan Belanda yang
lebih besar dan kuat persenjataannya. Dalam kondisi tak berdaya, Kiai
Mojo beserta pasukannya tertangkap dan tertawan; tidak kurang dari 50
pucuk senapan dan 300 buah tombak yang dapat dilucuti dari pasukan Kiai
Mojo. Bersamanya tertangkap pula para ulama yang turut menjadi pimpinan
pasukan di medan per¬tempuran, seperti antara lain Kiai Tuku Mojo, Kiai
Badren, Kiai Kasan Basari.
Kiai Mojo beserta stafnya dibawa ke
Surakarta; dari sana terus ke Salatiga tempat kediaman Jenderal De Kock.
Dari Salatiga Kiai Mojo dengan teman-temannya dibawa ke Semarang untuk
kemudian dikirim ke Batavia. Tertangkapnya Kiai Mojo dan stafnya
diper¬gunakan sebaik-baiknya untuk bisa membujuk pasukan Diponegoro yang
lainnya, yang masih melakukan perang gerilya.
Pada awal Januari 1829, Komisaris
Jenderal Du Bus telah mengirimkan Kapten Roeps dan seorang staf Kiai
Mojo untuk mengadakan perundingan dengan Diponegoro di markas besarnya
di Pengasih. Pada akhir Januari 1829 mereka dapat di terima di markas
per¬juangan Diponegoro dan pembicaraan dimulai antara delegasi Belanda
dengan delegasi Diponegoro. Tetapi di saat pembicaraan sedang
berlangsung, tiba-tiba ter¬dengar suara dentuman meriam dari pasukan
Belanda yang dipimpin oleh Mayor Bauer. Mendengar letusan meriam,
serentak pasukan Diponegoro mau membunuh delegasi Belanda yang sedang
berada di tengah-tengah meja perundingan. Berkat kebijaksanaan Alibasah
(Sentot) delegasi Belanda itu dapat selamat dan me¬merintahkan agar
pasukan Belanda mengundurkan diri, jika jiwa para delegasi Belanda ingin
selamat.
Pada bulan Februari 1829 Belanda
mengadakan gencatan senjata secara sepihak. Sebab Jenderal De Kock
mencoba membujuk Alibasah, panglima muda remaja yang sangat ditakuti
oleh Belanda. Jenderal De Kock mengirimkan surat kepada Alibasah, yang
isinya antara lain menjamin kebebasan bepergian bagi Ali basah dengan
pasukannya di daerah kekuasaan Belanda tanpa ada gangguan. Bahkan De
Kock mengirimkan beberapa pucuk pistol kepada Alibasah sebagai tanda
kenang-kenangan dan keinginan mau berdamai.
Taktik licik Belanda ini mempengaruhi
pimpinan pasukan Diponegoro, apalagi setelah beberapa tokoh pasukan
Diponegoro seperti Tumenggung Padmanegara, Pangeran Pakuningrat
diberikan kebebasan bepergian di daerah kekuasaan Belanda pada bulan
Ramadhan.
Dalam kesempatan gencatan senjata ini
Jenderal De Kock menggunakan waktu untuk terus mengirim surat kepada
beberapa tokoh pasukan Diponegoro seperti Alibasah dan Pangeran
Pakuningrat, yang isinya tidak lain menyanjung-nyanjung tokoh-tokoh
tersebut dan keinginan Belanda untuk bekerjasama dengan mereka.
Setelah gencatan senjata berjalan tiga
bulan tanpa mendapat hasil yang memuaskan bagi Belanda, maka pertempuran
dan operasi militer dilanjutkan. Terjadilah pertempuran sengit di
antara kedua belah pihak, sampai Komisaris Jenderal Du Bus diganti oleh
Johannes Van Den Bosch sebagai penguasa tertinggi Hindia Belanda di
Indonesia, dan Jenderal Mercus De Kock diganti oleh Jenderal Mayor
Benyamin Bischop sebagai pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda, pada
bulan Mei 1829. Tetapi karena Jenderal Benyamin Bischop sakit-sakitan
pada tanggal 7 Juli 1829 meninggal dunia, maka praktis pimpinan
tertinggi militer Hindia Belanda masih tetap berada ditangan Jenderal De
Kock.
Pada akhir bulan Mei 1829 pasukan
kolonial Belanda mencari dengan seksama tempat pangeran Mangkubumi yang
menjadi kepala urusan rumahtangga pasukan Diponegoro. Maksudnya tidak
lain agar dapat menangkap para anggota keluarga tokoh-tokoh pasukan
Diponegoro, untuk dapat memancing tokoh-tokoh itu supaya bisa menyerah.
Pada tanggal 21 Mei 1829 tempat persembunyian Pangeran Mangkubumi dengan
para keluarga tokoh-tokoh pasukan Diponegoro di desa Kulur diserbu oleh
pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Bauer dan Kapten Ten Have.
Hasilnya nihil, karena rombongan Pangeran Mangkubumi telah pergi
bersembunyi ke tempat lain. Usaha pengejaran akan dilakukan, tetapi
dengan tiba-tiba pasukan Di ponegoro di bawah pimpinan Alibasah
menyerang pasukan Belanda tersebut, sehingga terpaksa menghadapinya dan
dengan demikian rombongan Pangeran Mangkubumi lepas dari kejaran
Belanda.
Operasi militer untuk menangkap Pangeran
Mangkubumi tidak berhasil; diikuti dengan diplomasi untuk mengajak
berunding. Belanda menggunakan putera Pangeran Mangkubumi yang telah
menyerah yaitu Pangeran Natadiningrat untuk bisa membujuk Pangeran
Mangkubumi agar menghentikan pertempuran dengan Belanda, dengan alasan
usia telah lanjut dan Belanda berjanji untuk memberikan jabatan yang
terhormat dengan tempat dan gaji yang besar. Usaha ini tampak akan
berhasil, sebagaimana dilaporkan oleh Residen Van Nes pada tanggal 28
Juni 1829; tetapi hasilnya ternyata gagal.
Kegagalan ini mendorong untuk melakukan
operasi militer besar-besaran ke pusat pertahanan pasukan Diponegoro di
desa Geger. Pada tanggal 17 Juli 1829 pasukan kolonial Belanda di bawah
pimpinan Kolonel Cochius; Letnan Kolonel Sollewijn dan Mayor Cox van
Spengler dibantu dengan pasukan Mangkunegara menyerang desa Geger.
Dengan kekuatan yang tidak seimbang, markas Geger dapat direbut oleh
pasukan Belanda dan beberapa pimpinan pasukan Diponegoro gugur sebagai
syuhada, antara lain Sheikh Haji Ahmad dan Tunenggung Banuja.
Operasi militer terus ditingkatkan oleh
Belanda terhadap “kantong kantong” persembunyian pasukan Diponegoro,
sehingga pada akhir Juli 1829 putera Diponegoro yakni Diponegoro Anom
dan Raden Hasan Mahmud tertangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Sollewijn.
Tertangkapnya putera Diponegoro ini diper¬gunakan untuk melemahkan
semangat perjuangan Diponegoro dengan cara mengancam akan membunuh
Diponegoro Anom oleh Belanda. Jiwa puteranya akan selamat jika
Diponegoro menghentikan pertempuran. Hal ini terlihat dari surat
Jenderal De Kock tertanggal 6 Agustus 1829. Tetapi usaha ini tidak
berhasil melemahkan semangat tempur Diponegoro.
Dalam usaha konsolidasi, karena Alibasah
dan Pangeran Bei sakit keras, maka Diponegoro telah mengangkat pimpinan
pasukan infantri kepada Syeikh Muhammad dan Baisah Usman, sedangkan
pasukan kavaleri dipimpin oleh Pangeran Sumanegara. Selesai konsolidasi,
pasukan Diponegoro melakukan serangan terhadap pasukan Belanda di bawah
pimpinan Mayor Bauer dan Kapten Ten Have di Serma pada tanggal 3
Agustus 1829. Dalam pertempuran sengit ini, banyak korban yang jatuh di
kedua belah pihak, antara lain Syekh Muhammad dan Hasan Usman.
Untuk meningkatkan efektifitas operasi
militer, Jenderal De Kock telah memindahkan markas besarnya dari
Magelang ke Sentolo. Dengan demikian pasukan Belanda akan lebih dekat
dengan pusat-pusat pertempuran yang dilakukan oleh pasukan Diponegoro.
Bersamaan dengan operasi militer Belanda
yang ditingkatkan, Panglima Alibasah dan Pangeran Bei telah sembuh,
sehingga dapat aktif kembali memimpin pasukan Diponegoro yang telah
kehilangan dua orang panglimanya yaitu Syeikh Muhammad dan Basah Usman.
Pertempuran sengit tidak dapat dihindarkan lagi, disaat pasukan
Diponegoro melintasi sungai Brogo menuju Pajang diserang oleh pasukan
Belanda. Kedua belah pihak yang bertempur mati-matian, mengakibatkan
banyak jatuh korban, diantaranya seorang perwira Belanda mati terbunuh
yaitu Letnan Arnold.
Seiring dengan operasi militer yang
ditingkatkan, usaha diplomasi licik juga dilakukan. Pada tanggal 7
Agustus 1829 Letnan Kolonel Sollewijn datang ke Kreteg untuk membujuk
keluarga Pangeran Mangku¬bumi untuk menyerah dengan janji jaminan dari
Belanda. Akhirnya Raden Ayu Anom (isteri kedua Pangeran Mangkubumi)
beserta anak-anaknya dan pengawalnya sebanyak 50 orang menyerah kepada
Belanda.
Dengan posisi pasukan Diponegoro yang
makin terjepit karena daerah operasinya makin diperkecil oleh Belanda,
kelelahan dan kekurangan bahan makanan dengan perang yang telah berjalan
lima tahun, akhirnya satu demi satu pasukan Diponegoro menyerah kepada
Belanda. Pada tanggal 5 September 1829 Tunenggung Wanareja dan
Tumenggung Wanadirja bersama dengan 44 orang pasukannya menyerah. Pada
tanggal 6 September 1829, atas bujukan Tumenggung Surianegara yang
sengaja ditugaskan oleh Jenderal De Kock, menyerah pulalah Tumenggung
Suradeksana dan Sumanegara kepada Belanda di Kalibawang. Pada tanggal 9
September 1829, Pangeran Pakuningrat bersama dengan pasukannya sebanyak
40 orang menyerah lagi kepada Belanda.
Pada tanggal 21 September 1829 atas nama
pemerintah Hindia Belanda, Jenderal De Kock mengeluarkan pengumuman
tentang ‘hadiah besar’ bagi setiap orang yang dapat menangkap hidup atau
mati Diponegoro. Pengumuman itu antara lain berisi: “Barangsiapa yang
berani menyerahkan Diponegoro hidup atau mati kepada penguasa Hindia
Belanda, akan dinilai oleh Gubernur Jenderal Htndia Belanda sebagai
seorang yang sangat besar jasanya. Kepada orang itu akan diberikan
hadiah berupa uang kontan sebesar £ 50.000,- (lima puluh ribu pounds)
dan diberikan gelar kehormatan dengan gaji dan tanah yang cukup luas”.
Pengumuman yang menyayat hati ini belum
lagi kering, pada akhir September 1829 telah gugur Pangeran Bei bersama
dua orang puteranya yaitu Pangeran Jayakusuma dan Raden Mas Atmakusuma.
Bulan September 1829 benar-benar bulan
yang menyedihkan bagi Diponegoro, sebagai pemimpin tertinggi Perang
Jawa. Pada tanggal 25 September 1829 Mayor Bauer bersama Raden Mas
Atmadiwirja (putera Pangeran Mangkubumi), Tumenggung Reksapraja beserta
rombongan mencari Pangeran Mangkubumi, tetapi hasilnya nihil. Tetapi
Belanda tidak berputus asa. Jenderal De Kock mengutus Pangeran
Natadiningrat, putera Pangeran Mangkubumi yang telah menyerah, untuk
membujuk ayahnya. Maka pada tanggal 27 September 1829 Pangeran
Natadiningrat berhasil membujuk ayahnya untuk menyerah kepada Belanda.
Keesokan harinya, tanggal 28 September 1829 Pangeran Mangkubumi dibawa
oleh puteranya ke Yogyakarta. Di pertengahan jalan (di Mangir) rombongan
Pangeran Mangkubumi telah dijemput oleh Residen Van Nes dan
pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta.
Pengaruh dari menyerahnya Pangerang
Mangkubumi sangat besar bagi pasukan Diponegoro, karena secara
berturut-turut telah menyerah pula pangeran Adinegara, Kanjeng Pangeran
Aria Suryabrangta, Pangeran Suryadipura, Pangeran Suryakusuma, Kanjeng
Pangeran Dipasana, semuanya adalah mempunyai hubungan famiIi dengan
Diponegoro sendiri. Menyerah¬nya secara berturut-turut orang-orang di
sekitar Diponegoro, benar-benar dapat melumpuhkan pasukan Diponegoro.
Apalagi usaha untuk menarik Alibasah,
panglima pasukan Diponegoro yang disegani masih terus dilanjutkan.
Melalui Pangeran Prawiradiningrat, yang menjadi bupati Madiun dan
saudara Alibasah sendiri, Belanda telah berusaha untuk menaklukkannya.
Sejak tanggal 23 Juli 1829 usaha ini telah dilakukan walaupun pada
permulaannya gagal, karena syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasah
cukup berat; yaitu:
(a) Memberikan uang jaminan sebesar £ I0.000.-(b) Menyetujui pembentukan sebuah pasukan di bawah Pimpinan Alibasah sendiri yang berkekuatan seribu orang dan dilengkapi dengan persenjataan dan pakai¬an seragam;
(c) Memberikan 400 – 500 pucuk senjata api;
(d) Pasukan Alibasah ini langsung dibawah komando pemerintah Hindia Belanda, dan bebas dari kekuasaan sultan atau pembesar bangsa Indonesia; ¬
(e) Mereka bebas menjalankan agamanya,
(f) Tidak ada paksaan minum Jenever atau arak;
(g) Diizinkan pasukannya memakai surban.
Tawar-inenawar syarat-syarat ini
dilakukan pada tanggal 17 oktober 1829 di Imogiri, antara delegasi Ali
basah dengan delegasi Belanda, yang hasilnya masih memerlukan waktu
untuk diputuskan oleh penguasa tertinggi Hindia Belanda di Batavia.
Dalam surat yang ditulis Jenderal De Kock
kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, tertanggal 20
Oktober 1829, antara lain berisi: “…saya telah menulis surat kepada
Residen dan Kolonel Cochius bahwa mereka harus sedapat mungkin berusaha
me¬nyenangkan hati Alibasah, karena adalah hal yang penting sekali
apabila orang seperti Alibasah dapat kita tarik ke pihak kita dan turut
membela kepentingan kita ….. seperti yang hendak saya nyatakan dengan
hormat, bahwa karena sebab-sebab itulah saya berpendapat bahwa adalah
sangat penting apabila Alibasah sudah berada di pihak kita, makin lama
makin mengikat dia pada kepentingan kita. Sungguhpun hal ini harus
disertai beberapa pengorbanan dari pada kita.”
Surat Jenderal De Kock ini mendapat
jawaban dari pemerintah Hindia Belanda di Batavia tertanggal 25 Oktbber
1829, antara lain berbunyi: “Pemerintah pada dasarnya setuju dengan
keinginan Jenderal (Jenderal De Kock) bahwa dari pihak kita harus
dipergunakan segala apa yang mungkin dapat dipakai, selama hal itu dapat
sesuai dengan kebesaran pemerintah dan berusaha sedapat mungkin
mencegah kembalinya Alibasah ke pihak pemberontak.
Melihat isi surat-surat pemerintah Bindia
Belanda ini dapat disimpulkan bahwa Belanda bersedia memenuhi
syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasah. Oleh karena itu kepada
Residen Yogyakarta diperintahkan untuk segera menyerahkan uang sebanyak £
5.000,- dan 200 pucuk senjata untuk dipergunakan pasukan Alibasah
serta pasukannya itu langsung dibawah komando Jenderal De Kock, walau
secara yuridis masih berada dibawah wewenang sultan. Syarat-syarat
lain¬nya seluruhnya dipenuhi.
Untuk pelaksanaan penyerahan Alibasah dengan pasukannya, pada tanggal
23 Oktober 1829 Jenderal De Kock datang ke kota Yogyakarta untuk
menyambutnya; dan pada tanggal 24 Oktober 1829 Alibasah dengan
pasukannya memasuki kota Yogyakarta dan diterima oleh Jenderal De Kock
dengan upacara militer yang meriah.
Dengan menyerahnya Pangeran Mangkubumi,
Ali basah dan puluhan Pangeran dan Tumenggung serta tertangkapnya Kiai
Mojo dan gugurnya ratusan tokoh-tokoh Perang Jawa, maka secara praktis
Diponegoro tinggal sendirian. Pengalaman pahit dan getir yang di alami
oleh Diponegoro sebagai pimpinan tertinggi perang Jawa, karena banyaknya
sababat-sahabat meninggalkannya atau meninggal dunia. Dalam kondisi
yang demikian, ia harus menentukan pilihan: meneruskan pertempuran
sampai mati syahid di medan laga atau menyerah kepada musuh sampai mati
di dalam penjara. Kedua alternatif itu sama-sama tidak menyenangkan!
Setelah menyerahnya Alibasah dengan
pasukannya, operasi militer Belanda terus ditingkatkan guna memberikan
pukulan terakhir terhadap pasukan Diponegoro yang tinggal sedikit lagi
itu. Tekanan-tekanan pasukan Belanda kepada posisi pasukan Diponegoro
yang terus-menerus ditingkatkan, banyak pula tokoh-tokoh Perang Jawa
yang menyerah, antara lain pada bulan Desember 1829; salah seorang
komandan pasukan Diponegoro yang masih ada yaitu Jayasendirga;
Tumenggung Jayaprawira dan beberapa tumenggung lainnya beserta
pasukannya bertekuk lutut kepada Belanda. Adapula yang karena kondisi
kesehatan, akhirnya wafat di puncak gunung Sirnabaya Banyumas seperti
Pangeran Abdul Rahim (saudara Diponegoro sendiri).
Memasuki tahun 1830, musibah yang menimpa
pasukan Diponegoro masih terus saja bertambah. Pada tanggal 8 Januari
1830, putera Diponegoro yaitu Pangeran Dipakusuma tertangkap oleh
pasukan Belanda; pada tanggal 18 Januari 1830 berikutnya Patih
Diponegoro menyerah kepada Belanda.
Usaha untak menghentikan Perang Jawa
dengan damai yang licik terus dilakukan. Dengan menggunakan bekas
tokoh-tokoh Perang Jawa seperti Alibasah dan Patih Danureja dalam usaha
perdamaian licik membawa hasil yang menggembirakan bagi Belanda. Sebab
pada tanggal 16 Februari 1830 telah terjadi pertemuan pertama antara
Diponegoro dengan Kolonel Cleerens, wakil pemerintah Hindia Belanda
dalam rangka perdamaian di Kamal, sebelah utara Rama Jatinegara daerah
Bagelen.
Pertemuan perdamaian tidak dapat
dilangsungkan, karena Diponegoro menuntut perundingan itu harus
dilakukan oleh seorang yang mempunyai posisi yang sama dengan dia;
setidak-tidaknya seperti Jenderal De Kock. Padahal Jenderal De Kock pada
saat itu sedang berada di Batavia.
Untuk menunggu kedatangan Jenderal De
Kock, maka Diponegoro dengan pasukannya terpaksa harus menginap di
Kecawang sebelah utara desa Saka. Selama tenggang waktu perundingan,
gencatan senjata dilakukan oleh kedua belah pihak. Desa Kecawang masih
terlalu jauh, apabila perundingan akan dilangsungkan di sana. Oleh
karena itu; untuk memudahkan jalan perundingan Diponegoro dengan
pasukannya harus pindah ke Menoreh yang tidak begitu jauh dari Magelang,
markas besar pasukan Belanda.
Pada tanggal 21 Februari 1830 rombongan
Diponegoro telah tiba di Menoreh. Tetapi sampai 5 Maret 1830 Jenderal De
Kock belum juga datang ke Magelang padahal bulan Ramadhan telah tiba.
Berkenaan dengan bulan suci ini; Diponegoro tidak mau mengadakan
perundingan dengan Belanda karena ia akan memusatkan dirinya untuk
melakukan ibadah puasa selama sebulan. Kontak pertama antara Diponegoro
dengan Jenderal De Kock terjadi pada tanggai 8 Maret 1830, sebagai
perkenalan dan selanjutnya jadwal perundingan akan dilangsungkan sesudah
bulan Ramadhan.
Menjelang hari raya Idul Fithri,
Diponegoro telah menerima hadiah dalam bentuk seekor kuda tunggang yang
sangat baik dan uang sebesar f 10.000.- Kemudian diikuti dengan
pembebasan putera dan isteri Diponegoro yang ditahan di Semarang dan
membolehkan mereka berkumpul dengan Diponegoro di tempat penginapan
perundingan di Magelang.
Pada tanggal 25 Maret 1830, Jenderal De
Kock telah memberikan perintah rahasia kepada Letnan Kolonel Du Perron
dan pasukannya untuk memperketat pengawalan dan penjagaan kota Magelang
dengan mengerahkan pasukan Belanda dari beberapa daerah di Jawa Tengah.
Instruksinya, apabila perundingan gagal, Diponegoro dan delegasinya
harus ditangkap!
Pada tanggal 28 Maret 1830 perundingan
akan dilangsungkan di gedung Keresidenan Kedu di Magelang. Sebelum jam
07.00 pagi Tumenggung Mangunkusuma datang kepada Residen Kedu untuk
memberitahukan bahwa sebentar lagi Diponegoro dengan staf nya akan tiba.
Pemberitahuan ini menyebabkan Letnan Kolonel Du Perron menyiap-siagakan
pasukannya, sesuai dengan perintah Jenderal De Kock. Jam 07.30. pagi
Diponegoro dengan stafnya dikawal oleh seratus orang pasukannya memasuki
gedung keresidenan. Delegasi Diponegoro diterima langsung oleh Jenderal
De Kock dengan staf nya. Perundingan dilakukan di tempat kerja Jenderal
De Kock. Pihak Diponegoro disertai dengan tiga orang puteranya yaitu
Diponegoro Anom, Raden Mas Jonad, Raden Mas Raab, ditambah dengan Basah
Martanegara dan Kiai Badaruddin. Sedangkan di pihak Jenderal De Kock
disertai oleh Residen Valk, Letnan Kolonel Roest, Mayor Ajudan De Stuers
dan Kapten Roeps sebagai juru bicara.
Letnan Kolonel De Kock van Leeuwen, Mayor
Perie dan opsir-opsir Belanda lainnya ditugaskan untuk melayani dan
mengawasi pemimpin-pemimpin pasukan Diponegoro yang berada di kamar yang
lain. Sedangkan letnan Kolonel Du Peron tetap berada di luar gedung
keresidenan untuk setiap saat dapat melakukan penyergapan, sebagaimana
telah diperintahkan oleh Jenderal De Kock.
Kolonel Cleerens yang mula-mula sekali
berhasil melakukan kontak dengan Diponegoro dan berhasil merencanakan
pertemuan perdamaian serta telah memberikan jaminan diplomasi penuh
kepada Diponegoro dan stafnya tidak diikutsertakan bahkan tidak berada
di kota Magelang tempat perundingan dilaksanakan. Dengan demikian jika
terjadi pengkhianatan maka secara moral Cleerens tidak terlibat
langsung, karena memang tidak hadir.
Babak pertama Jadwal perundingan, menurut
Diponegoro sebagai pendahuluan untuk menjajagi materi perundingan pada
babak selanjutnya; tetapi menurut Jenderal De Kock harus langsung
memasuki materi Perundingan. Pembicaraan materi perundingan menjadi
tegang, karena De Kock bersikeras untuk langsung membicarakan materi
perundingan. Suasana tegang dan panas itu, sampai-sampai Diponegoro
terlontar ucapan: “Jika tuan menghendaki persahabatan, maka seharusnya
tidak perlu adanya ketegangan di dalam perundingan ini. Segalanya tentu
dapat diselesaikan dengan baik. Jikalau kami tahu bahwa, tuan begitu
jahat, maka pasti lebih baik kami tinggal terus saja berperang di daerah
Bagelen dan apa perlunya kami datang kemari.”
Ketika pihak Jenderal De Kock terus
mendesak tentang tujuan penerangan yang telah dilakukan oleh Diponegoro
selama lebih lima tahun ini, maka akhirnya ia memberi jawaban dengan
tegas dan gamblang, yaitu antara lain: “Mendirikan negara merdeka di
bawah pimpinan seorang pemimpin dan mengatur agama Islam di pulau Jawa”.
Mendengar jawaban ini Jenderal De Kock terperanjat, karena ia tidak
mengira bahwa Diponegoro akan mengajukan tuntutan semacam itu. Sewaktu
De Kock memberi jawaban bahwa tuntutan semacam itu adalah terlalu berat
dan tak mungkin dapat dipenuhi, Diponegoro tetap teguh pada tuntutannya.
Tanda-tanda perundingan babak pertama
akan menemui jalan buntu, dan Belanda khawatir jika pe¬rundingan ditunda
sampai besok, berarti kesempatan buat Diponegoro dan pasukannya untuk
mengadakan konsolidasi guna menghadapi segala kemungkinan. Sesuai dengan
rencana Belanda bahwa perundingan adalah semata-mata methoda untuk
menangkap Diponegoro dan stafnya, maka dengan angkuhnya Jenderal De Kock
berkata: “Kalau begitu, tuan tidak boleh lagi kembali dengan bebas.”
Mendengar ucapan ini, Diponegoro dengan
marah menjawab : “Jika demikian, maka tuan penipu dan pengkhianat,
karena kepada saya telah dijanjikan kebebasan dan boleh kembali ke
tempat perjuangan saya semula, apabila perundingan ini gagal.”
Jenderal De Kock berkata lagi: “Jika tuan
kembali, maka peperangan akan berkobar lagi.” Diponegoro menjawab:
“Apabila tuan perwira dan jantan, mengapa tuan takut berperang?”
Tiba-tiba Jenderal De Kock
menginstruksikan kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk
menyergap Diponegoro dan stafnya serta seluruh pengawalnya dilucuti.
Dalam posisi tidak siap tempur, Diponegoro dan pasukannya dengan mudah
ditangkap dan dilucuti.
Dengan cepat Diponegoro dimasukkan ke
dalam kendaraan residen yang telah disiapkan oleh Belanda dengan
pengawalan ketat oleh Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps berangkat
menuju Ungaran. Dari sana kemudian Diponegoro dibawa ke Semarang untuk
selanjutnya dibawa ke Batavia. Pada tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro
beserta stafnya dibawa ketempat pembuangannya di Menado. Tidak kurang
dari 19 orang yang terdiri dari keluarga dan stafnya ikut dalam
pembuangan di Menado. Pada tahun 1834 Diponegoro beserta keluarga dan
stafnya dipindahkan ke kota Makasar. Dan pada tanggal 8 Januari 1855
Diponegoro wafat dalam usia kira-kira 70 tahun, setelah menjalani masa
tawanan selama duapuluh lima tahun.
Perang Jawa yang dahsyat dan penuh
patriotisme telah digerakkan dan dipimpin oleh tokoh-tokoh pejuang
Islam, yang hampir sebagian terbesar berideologi Islam dan bertujuan
berdirinya negara merdeka yang berdasarkan Islam. Fakta-fakta sejarah
yang terungkap, baik latar belakang yang mewarnai para tokoh Perang
Jawa, masa peperangan yang memakan waktu lima tahun lebih, yang diisi
dengan menegakkan syari’at Islam di dalam kehidupan pasukan Diponegoro
sampai pada saat perundingan dengan Belanda serta tujuan yang akan
dicapai, semuanya adalah bukti yang kuat bahwa Diponegoro dan pasukannya
telah melakukan perjuangan politik Islam untuk mendirikan negara Islam
di tanah Jawa.
Kegagalan yang diderita oleh Diponegoro
dan pasukannya, bukan karena tujuan dan methodanya yang salah, tetapi
karena kekuatan yang tak seimbang, baik manpower, persenjataan,
perlengkapan dan pengkianatan bangsa sendiri yang sebagian besar
membantu Belanda-Kristen yang kafir; disamping tipu muslihat yang licik
dan keji yang dilakukan oleh penguasa kolonial Belanda-Kristen.
Tipu muslihat yang licik dan keji, yang
hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang bermoral rendah dan jahat,
ternyata telah menjadi watak kepribadian pe¬nguasa kolonial
Barat-Kristen di Indonesia, baik Portugis-Kristen Katholik maupun
Belanda-Kristen Protestan.
sumber : PERANG SABIL versus PERANG SALIB
(Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis dan Belanda) oleh ABDUL QADIR DJAELANI, Penerbit: YAYASAN PENGKAJIAN ISLAM MADINAH AL-MUNAWWARAH Jakarta 1420 H / 1999 M
(Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis dan Belanda) oleh ABDUL QADIR DJAELANI, Penerbit: YAYASAN PENGKAJIAN ISLAM MADINAH AL-MUNAWWARAH Jakarta 1420 H / 1999 M
http://serbasejarah.wordpress.com/2009/04/01/perang-jawa-3-1825-1830-perjuangan-islam-melawan-penjajah/
Sabtu, 09 November 2013
Jejak Soeharto, Petualangan Politik Seorang Jenderal Godean
Di situlah Soeharto sering mendengar
orang berdiskusi. Memang tak sampai setiap hari, tapi ia bisa saja
mampir dua kali seminggu. Ia tiba setiap pukul delapan malam dan dan
bertahan sampai pukul tiga pagi. Itu semua dilakukan untuk “belajar
politik” kepada Dayitno dan Soendjojo, yang dekat dengan para politisi
sosialis. Adalah Marsoedi, seorang eks tentara Peta, yang memperkenalkan
Soeharto kepada kelompok Pathook. “Pemuda Pathook itu seperti pemuda
Menteng 31 Jakarta. Semua berkumpul di situ, apakah itu PKI atau yang
lain,” tutur Marsoedi, mengenang. Ibrahim, 76 tahun, mantan anggota
Pathook, masih ingat betul bahwa yang sering meladeni makanan atau
minuman untuk Soeharto adalah seorang bernama Munir. Ia adalah Ketua
Serikat Buruh. “Munir kemudian dijatuh hukuman mati oleh Soeharto,
padahal mereka pernah sama-sama di Pathook,” kata Ibrahim. Jika wartawan
menyempatkan diri melacak masa lalu Soeharto di Yogyakarta dan
menemukan kembali aktivis-aktivis Kelompok Pathook dulu itu ada
alasannya.
Sebuah buku berjudul Suharto: A Political Biography
karya R.E. Elson, yang baru saja meluncur dalam jumlah terbatas dan
berharga jual Rp 400 ribu, menyinggung tentang Kelompok Pathook ini.
Boleh disebut di situlah proses pembentukan pemikiran pertama Soeharto.
Atau, bisa dikatakan bahwa Pathook adalah sebuah potret kecil bagaimana
cara dan gaya Soeharto berkawan. Di Pathook, ia tidak larut dalam
pergaulan. Ia mengambil jarak. “Ia bukan anggota,” tutur Ibrahim.
Soeharto lebih banyak diam, tapi agaknya ia secara saksama mengamati
kecenderungan karakter dan sikap orang, sehingga ketika tiba suatu
“masa” ia dihadapkan pada sikap memilih mana kawan, mana lawan, ia telah
siap. Ia bahkan tega mengorbankan sahabatnya sendiri. Munir, yang punya
nama lengkap Mohammad Munir, dieksekusi pada Mei tahun 1985.
Marsudi,
orang yang membukakan cakrawala politik Soeharto, yang kemudian menjadi
perwira intel Soeharto, juga dijebloskan ke penjara selama lima tahun
di zaman Orde Baru. Tudingannya? Anggota Partai Komunis Indonesia. Buku
ini adalah sebuah hasil penelitian yang disusun secara komprehensif dan
hati-hati. Ada beberapa hal yang tetap menjadi pertanyaan: misalnya,
sosok misterius Syam Kamaruzaman, yang sesungguhnya adalah anggota
Kelompok Pathook.
Mereka mendapatkan modal awal sebesar Rp
419,352 dari pajak kopra dan sumbangan Persatuan Pabrik Rokok Kudus.
Tahun itu juga, Soejono Hoemardani, staf Soeharto, bekerja sama dengan
YPTE mendirikan NV Garam di Salatiga, yang bergerak di bidang
transportasi. YPTE mendapatkan sepuluh persen dari keuntungan. Masih
pada tahun yang sama, Soejono membeli separuh saham PT Dwi Bakti.
Separuh saham lainnya diambil oleh anak angkat Gatot Subroto, yaitu
Mohammad Bob Hassan, dan pengusaha Sukaca. Pada akhir tahun 1957, luar
biasa, modal YPTE langsung mencapai Rp 18 juta. Pada Agustus 1958, YPTE
mendirikan NV Pusat Pembelian Hasil Bumi, perusahaan jual-beli produksi
pertanian.
Pada tahun 1959, kekayaan YPTE melonjak
menjadi Rp 35 jutaan, sehingga YPTE bisa meminjamkan uang sebesar Rp 1
juta rupiah untuk mengembangkan industri kecil di Jawa Tengah. Agustus
1959, YPTE melangkah lebih jauh lagi: menanamkan investasi sebesar Rp 15
juta untuk membeli Pabrik Gula Pakis. Untuk mengatasi kekurangan stok
pangan di Jawa Tengah, Soeharto membuat kebijakan mengadakan barter gula
dengan beras dari Thailand dan Singapura. Maka, diutuslah agen-agen
YPTE bernama Bob Hasan dan Soejono Hoemardani untuk membuat koordinasi
tukar-menukar ilegal antara Jawa Tengah dan Singapura.
Posisi Elson sendiri tampak sependapat
dengan “keputusan resmi”. Ia menyangsikan bahwa segala uang itu masuk ke
kantong pribadi Soeharto, lantaran dari risetnya ia mendapat fakta
bahwa kehidupan Soeharto di Semarang sederhana . “As far as I am
aware, Suharto himself was not directly involved in such maters, and
there is no evidence that connects him directly to a share in the
profits of these business, ” (Sepanjang yang saya ketahui, Soeharto
tidak terlibat secara langsung dalam kasus itu, dan tak ada fakta yang
mendukung bahwa dia mendapatkan bagian keuntungan dari bisnis ini-Red.),
demikian ditulis Elson. Elson juga menampik anggapan umum bahwa
hubungan bisnis di bawah tangan antara Soeharto dan Liem Sioe Liong
terjalin di Semarang karena-menurut Elson-pada saat itu fokus bisnis
Liem berganti.
Oktober 1956, Liem mendirikan NV Bank
Asia, yang kelak akan menjadi Bank Central Asia (BCA). Tahun 1957, Liem
telah meninggalkan Kudus dan pindah ke Jakarta. Hubungan erat Soeharto
dan Liem-menurut Elson-baru ketika di Jakarta, di awal Orde Baru. Yang
menjadi soal, dengan kesimpulan seperti itu adakah Elson telah
mewawancarai beberapa saksi hidup saat itu? Wartawan TEMPO menemui Mayor
Jenderal (Purnawirawan) Moehono, yang pada waktu itu menjabat sebagai
Jaksa Agung Muda yang diutus Nasution untuk mendampingi tim kecil
Ibrahim untuk memeriksa Soeharto.
“Jauh sebelum membentuk Yayasan
Teritorial Empat, Soeharto sudah melakukan korupsi, yaitu penjualan
mobil-mobil tua, sejumlah mobil yang usianya belum mencapai lima tahun
ikut dilegonya,” tutur Muhono. Dalam daftar pustaka, misalnya, Elson
menggunakan referensi buku Letnan Jenderal Purnawirawan Mochammad
Jassin, mantan Panglima Komando Daerah Militer Brawijaya 1967-1970: Saya
Tidak Pernah Minta Ampun pada Soeharto.
Entah apakah Elson mewawancarai langsung
Jassin atau tidak. Sebab, dalam wawancaranya dengan media pada tahun
1998, Jassin mengatakan: “Tiga tahun yang lalu saya tanya ke Pak Nas
sewaktu dia mengawinkan cucunya, ‘Pak Nas, katanya Soeharto itu pernah
jadi penyelundup.’ Dia bilang, ‘Iya bukan hanya teh, ada cengkih, besi
tua, tekstil. Menurut Jassin, sebenarnya Soeharto sudah mau dipecat olek
Pak Nas tapi diselamatkan oleh Gatot Soebroto.’
Menurut Muhono, yang pertama kali
melaporkan penyelundupan ini adalah Pranoto Reksosamudra. Itulah
sebabnya Soeharto sangat dongkol kepada Pranoto, yang dikenalnya di
Pathook itu. Ketika di Semarang, ternyata Pranoto menjadi rival politik
Soeharto. Pranoto inilah yang oleh Bung Karno ditunjuk sebagai caretaker
keamanan pasca-G30S. Tapi, kemudian, Pranoto ditahan oleh Soeharto
selama 15 tahun (dari 16 Februari 1966 sampai 16 Februari 1981). Kepada
TEMPO, Umiyah, istri Dayino, menyatakan bagaimana ia ingat saat Pranoto
keluar dari penjara. Ketika itu suaminya, Dayino, menemui Pranoto.
Kedua sahabat ini berangkulan dan Pranoto
berpesan kepada Dayino: “No, kowe ojo melu-melu sing kuoso iki, mergo
sing kuoso iki iblis (Kamu jangan ikut-ikutan yang berkuasa, karena yang
berkuasa ini iblis).” Bagian penting lain yang menarik tapi terasa tak
memuaskan dahaga pembacanya adalah bab G30S-PKI. Elson tampak bersikap
ekstrahati-hati. Ia tidak ingin terjebak dalam teori konspirasi. Ia sama
sekali tidak menyentuh kontroversi keterlibatan CIA di balik G30S-PKI
atau bahwa Soeharto semacam soldier of fortune yang menjual negara.
Bagaimanapun, sikap hati-hati Elson ini
memiliki sisi positif karena ia mampu menunjukkan kritik terhadap Kol.
Latief. Berdasar bahan-bahan wawancara surat kabar, buku, dan pleidoi
Latief, ia menunjukkan beberapa bagian yang tidak konsisten dalam
pernyataan Kolonel Latief. Misalnya, pengakuan Latief bahwa semenjak di
Brigade X ia menjadi anak buah Soeharto bertentangan dengan pengakuannya
yang lain.
Kesimpulan Elson, sebetulnya baik Latief
maupun Untung sama sekali tidak akrab dengan Soeharto. Bahwa fakta
Soeharto pernah menghadiri perkawinan Untung adalah hal yang
dilebih-lebihkan. Elson berpendapat Soeharto tidak terlibat dalam
peristiwa itu. Tapi dia menangguk untung. Bagi Elson, Soeharto adalah
sosok yang sulit diketahui isi hatinya. Di tengah misterinya, Elson
menganggap kekuatan utama Soeharto adalah kemampuannya membuat kalkulasi
politik.
Salah satu prinsip Soeharto: ia tak akan
bertindak sebelum sampai ada tanda jelas. Ia sabar, tahan, menunggu
momen tepat, meskipun dalam rentang itu korban nyawa berjatuhan.
Contohnya adalah pada waktu malam pembunuhan jenderal itu. Mendengar
laporan Latief bahwa ada penculikan jenderal, ia tidak bertindak
apa-apa. Mungkin ia melihat sebuah kesempatan bagi dia sendiri untuk
maju. Demikianlah taktik politik Soeharto.
Menurut analisis Elson, Soeharto juga tak
suka pada seorang pesaing atau rival. Banyak pengamat menganggap,
sesungguhnya dalam praktek politik sehari-hari Soeharto tak ada orang
dekat yang betul-betul dipercaya Soeharto. Sebab, jika orang itu mulai
menonjol dan dianggapnya “keluar” dari arahannya, ia akan digencet.
Elson menganggap Soeharto tak akan menghancurkan lawan (pesaingnya)
apabila dia melihat kesempatan untuk membuat sang lawan berubah menjadi
anak buahnya. Bila tak tunduk, ia akan berusaha keras mengisolasi
pesaingnya hingga dia tidak akan mendapat dukungan. Sepanjang sejarah,
kita lihat Ali Sadikin yang “dibuang” di masa Orde Baru. Bahkan soal
sepele seperti bentuk mata uang pun bisa jadi masalah besar bagi
Soeharto.
Ketika Jusuf Ronodipuro mengusulkan agar
kita memiliki uang kertas bergambar Sukarno, Soeharto tak setuju kalau
Soekarno hanya tampil sendirian. Akhirnya, uang pecahan itu diputuskan
menampilkan gambar Sukarno-Hatta. Menurut Elson, unsur pembalasan dendam
juga menjadi bagian gaya kepemimpinan Soeharto. Seorang sumber TEMPO
menceritakan, begitu Sultan Hamengku Buwono IX menjadi wakil presiden,
ia ingat betapa Soeharto tampak senang. Kepada sumber TEMPO tersebut,
Soeharto mengatakan bahwa kini Raja Jawa-lah yang harus tunduk pada
dirinya-petani dari Desa Kemusuk. Dari pernyataan itu, terasa udara
dendam kelas.
Kelemahan utama dalam kepemimpinan
Soeharto adalah dia bukan pemimpin yang memiliki visi. Model
kepemimpinannya, menurut Elson, sangat instrumental, sederhana.
Langkah-langkah yang diambilnya banyak yang karena kebutuhan konkret dan
praktis. Ia seolah pengamal ekstrem pepatah Latin, Carpe Diem: raihlah
hari ini. Soeharto tak banyak membaca. Elson pernah mendapat cerita
bagaimana seorang lingkaran dalam Istana pernah diam-diam ingin
“mendidik” Soeharto.
Setiap pekan, sang sumber ini membawa
setumpuk majalah luar negeri, seperti Time, ke ruang kerja Soeharto.
Tapi, tiap kali ia datang, tumpukan majalah itu tak tersentuh. Sekali
waktu di Yogyakarta, Sukarno menyebut Soeharto sebagai koppig (keras
kepala). Sikap koppig ini juga terasa bagi masyarakat di bawah
pemerintahannya karena Soeharto begitu defensif apabila ditanya soal
bisnis keluarganya. Bahkan, ketika tahun 1990-an model nepotisme yang
dia bangun rentan terhadap krisis, ia tetap defensif. Soeharto, menurut
Elson, sedari awal selalu membutuhkan sumber-sumber pemasukan off budget
(di luar pembukuan) yang tidak melalui pemeriksaan ketat. Ia
menciptakan mesin-mesin uang seperti Ibnu Sutowo, yang sepak terjangnya
di luar anggaran. Pada waktu itu, semua berjalan lancar karena faktor
boom minyak. Semua “pelanggaran” yang dilakukan seolah terlegitimasi
dengan kesuksesan Pertamina membangun apa saja. Penempatan personel
militer ke dalam lapisan elite perusahaan sipil juga seolah menjadi
absah.
Tahun 1967, ia menempatkan Soejono
Humardani sebagai dewan utama Bank Windu Kencana milik Liem Sioe Liong.
Ia seolah memberi model bagaimana tentara harus memanfaatkan
sumber-sumber bisnis untuk membiayai operasinya. Ia juga membiarkan
ketika istrinya, Tien Soeharto, mendirikan yayasan-yayasan filantropis
yang dananya diperoleh dari perusahaan-perusahaan. Tahun 1966, bersama
istri Ibnu Sutowo, Tien Soeharto mendirikan Yayasan Harapan Kita, yang
dananya dijatah beberapa persen dari PT Bogasari.
Selanjutnya, lingkup yayasannya tambah
beragam, dari yayasan agama sampai yang bersifat tradisi seperti Yayasan
Mangadek, sebuah yayasan untuk memelihara Istana Mangkunegaran yang
pasokan dananya dikoordinasi pengusaha Sukamdani. Soeharto, mengutip
istilah Harry Tjan Silalahi, adalah seorang pemimpin petani yang
memiliki mentalitas lumbung. Seorang petani sehari-hari penampilannya
sederhana, cukup mengenakan kaus, asal lumbungnya penuh. Sosok Soeharto
terlihat sederhana, tak suka pesta-pesta. Tapi ia puas lumbung
keluarganya, sanak familinya, kroninya terisi untuk tujuh turunan.
Mengutip analisis Jenderal Soemitro, Elson menyebut Soeharto memang
lemah terhadap keluarganya. Itulah sebabnya kondisi fisiknya semakin
merosot setelah kematian istrinya pada 28 April 1996. Padahal,
sebelumnya saat kunjungan ke Kazakhstan, kondisi fisiknya masih bagus.
Ia dikabarkan masih kuat menunggang kuda lokal yang larinya cepat.
Sayang, Elson tak menjelajahi soal kematian Tien Soeharto.
Benarkah isu-isu yang tersebar selama
ini? Atau ada fakta lain? Tentunya itu menarik diulas. “Kematian Ibu
Tien karena serangan jantung seperti yang ditulis Elson itu tidak
benar,” kata Muhono, yang di hari-hari kematian Tien Soeharto mengetahui
keadaan dan suasana Cendana. Buku ini memang banyak bertumpu pada
banyak pustaka dan riset dalam rangka upaya Elson mencari atau
me-nemukan gaya personal kepemimpinan Soeharto. Inilah sebuah gaya yang,
celakanya, begitu tertanam dalam birokrasi modern Indonesia. Elson
tidak melakukan wawancara dengan Soeharto. Tapi, itu bukan soal. Sebab,
Cyndi Adams, yang menyusun biografi Sukarno berdasar wawancara yang
dalam dengan “pujaan”-nya itu, malah membuat bukunya itu mengandung
banyak bias emosional.
Buku Elson terbilang cukup komprehensif
hanya bila pembaca ingin mengetahui garis besar perjalanan politik
Soeharto. Tapi, bila pembaca membaca buku ini dengan semangat
“pembongkaran” sesuatu yang baru dalam misteri sosok Soeharto, atau jika
ingin mendapat informasi atau data tekstual yang mengejutkan, tampaknya
buku ini tak bisa menjadi pilihan.
Sebagaimana fitrah profesi penulisnya,
buku ini adalah sebuah analisis yang komprehensif tentang petualangan
politik Soeharto yang disusun dengan rapi dan teliti tanpa gelora atau
keinginan untuk menggebrak.
Presiden Soeharto

Sampai akhirnya terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, Jawa Tengah pada tahun 1941. Beliau resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945. Pada tahun 1947, Soeharto menikah dengan Siti Hartinah seorang anak pegawai Mangkunegaran.
Perkawinan Letkol Soeharto dan Siti Hartinah dilangsungkan tanggal 26 Desember 1947 di Solo. Waktu itu usia Soeharto 26 tahun dan Hartinah 24 tahun. Mereka dikaruniai enam putra dan putri; Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Hutomo Mandala Putra dan Siti Hutami Endang Adiningsih.
Jenderal Besar H.M. Soeharto telah menapaki perjalanan panjang di dalam karir militer dan politiknya. Di kemiliteran, Pak Harto memulainya dari pangkat sersan tentara KNIL, kemudian komandan PETA, komandan resimen dengan pangkat Mayor dan komandan batalyon berpangkat Letnan Kolonel.
Serangan Umum 1 Maret 1949 tidak bisa dipisahkan dari sejarah bangsa Indonesia. Peristiwa tersebut menjadi salah satu catatan penting saat Republik ini baru mulai berdiri setelah lepas dari penjajahan Belanda. Banyak versi seputar Serangan Umum 1 Maret tersebut. Namun demikian, peran Letkol Soeharto tentu tidak bisa dipisahkan dalam perang untuk merebut kembali Ibu Kota Republik Indonesia, Yogyakarta. Tujuan utama tentu untuk menaklukkan pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Alhasil Serangan Umum 1 Maret bisa menunjukkan kepada dunia internasional bahwa TNI masih ada.
Pada tahun 1949, dia berhasil memimpin pasukannya merebut kembali kota Yogyakarta dari tangan penjajah Belanda saat itu. Beliau juga pernah menjadi Pengawal Panglima Besar Sudirman. Selain itu juga pernah menjadi Panglima Mandala (pembebasan Irian Barat).
Tanggal 1 Oktober 1965, meletus G-30-S/PKI. Soeharto mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. Selain dikukuhkan sebagai Pangad, Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai Pangkopkamtib oleh Presiden Soekarno. Bulan Maret 1966, Jenderal Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno. Tugasnya, mengembalikan keamanan dan ketertiban serta mengamankan ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.
Karena situasi politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa MPRS, Maret 1967, menunjuk Pak Harto sebagai Pejabat Presiden, dikukuhkan selaku Presiden RI Kedua, Maret 1968. Pak Harto memerintah lebih dari tiga dasa warsa lewat enam kali Pemilu, sampai ia mengundurkan diri, 21 Mei 1998.
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru. Program pemerintah Soeharto diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional, terutama stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Yang dimaksud dengan stabilisasi ekonomi berarti mengendalikan inflasi agar harga barang-barang tidak melonjak terus. Dan rehabilitasi ekonomi adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini adalah pembinaan sistem ekonomi berencana yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi ke arah terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Program stabilsasi ini dilakukan dengan cara membentung laju inflasi. Dan pemerintah Orde Baru berhasil membendung laju inflasi pada akhir tahun 1967-1968, tetapi harga bahan kebutuhan pokok naik melonjak. Sesudah dibentuk Kabinet Pembangunan pada bulan Juli 1968, pemerintah mengalihkan kebijakan ekonominya pada pengendalian yang ketat terhadap gerak harga barang khususnya sandang, pangan, dan kurs valuta asing. Sejak saat itu ekonomi nasional relatif stabil
Setelah berhasil memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, maka langkah selanjutnya yang ditempuh pemerintah Orde Baru adalah melaksanakan pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang diupayakan pemerintah waktu itu direalisasikan melalui Pembangunan Jangka pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Pambangunan Jangka Pendek dirancang melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita memiliki misi pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang mencakup periode 25-30 tahun. Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam upaya mewujudkan tujuan nasional yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945.
Pada masa orde baru, pemerintah menjalankan kebijakan yang tidak mengalami perubahan terlalu signifikan selama 32 tahun. Dikarenakan pada masa itu pemerintah sukses menghadirkan suatu stablilitas politik sehingga mendukung terjadinya stabilitas ekonomi. Karena hal itulah maka pemerintah jarang sekali melakukan perubahan-perubahan kebijakan terutama dalam hal anggaran negara. Pada masa pemerintahan orde baru, kebijakan ekonominya berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ekonomi tersebut didukung oleh kestabilan politik yang dijalankan oleh pemerintah. Hal tersebut dituangkan ke dalam jargon kebijakan ekonomi yang disebut dengan Trilogi Pembangungan, yaitu stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan pemerataan pembangunan.
Pada tahun 1998 merupakan masa kelam bagi Presiden Soeharto dan masuknya masa reformasi bagi Indonesia, Dengan besarnya demonstrasi yang dilakukan oleh Mahasiswa serta rakyat yang tidak puas akan kepemimpinan Soeharto serta makin tidak terkendalinya ekonomi serta stabilitas politik Indonesia maka pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.05 WIB Pak Harto membacakan pidato "pernyataan berhenti sebagai presiden RI” setelah runtuhnya dukungan untuk dirinya. Soeharto telah menjadi presiden Indonesia selama 32 tahun. Sebelum dia mundur, Indonesia mengalami krisis politik dan ekonomi dalam 6 sampai 12 bulan sebelumnya. BJ Habibie melanjutkan setidaknya setahun dari sisa masa kepresidenannya sebelum kemudian digantikan oleh Abdurrahman Wahid pada tahun 1999. Kejatuhan Suharto juga menandai akhir masa Orde Baru, suatu rezim yang berkuasa sejak tahun 1968.
Presiden RI Kedua HM Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008.
Jenderal Besar yang oleh MPR dianugerahi penghormatan sebagai Bapak Pembangunan Nasional, itu meninggal dalam usia 87 tahun setelah dirawat selama 24 hari (sejak 4 sampai 27 Januari 2008) di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta. Berita wafatnya Pak Harto pertama kali diinformasikan Kapolsek Kebayoran Baru, Kompol. Dicky Sonandi, di Jakarta, Minggu (27/1). Kemudian secara resmi Tim Dokter Kepresidenan menyampaikan siaran pers tentang wafatnya Pak Harto tepat pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008 di RSPP Jakarta akibat kegagalan multi organ.
Kemudian sekira pukul 14.40, jenazah mantan Presiden Soeharto diberangkatkan dari RSPP menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta. Ambulan yang mengusung jenazah Pak Harto diiringi sejumlah kendaraan keluarga dan kerabat serta pengawal. Sejumlah wartawan merangsek mendekat ketika iring-iringan kendaraan itu bergerak menuju Jalan Cendana, mengakibatkan seorang wartawati televisi tertabrak.
Di sepanjang jalan Tanjung dan Jalan Cendana ribuan masyarakat menyambut kedatangan iringan kendaraan yang membawa jenazah Pak Harto. Isak tangis warga pecah begitu rangkaian kendaraan yang membawa jenazah mantan Presiden Soeharto memasuki Jalan Cendana, sekira pukul 14.55, Minggu (27/1).
Sementara itu, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla dan sejumlah menteri yang tengah mengikuti rapat kabinet terbatas tentang ketahanan pangan, menyempatkan mengadakan jumpa pers selama 3 menit dan 28 detik di Kantor Presiden, Jakarta, Minggu (27/1). Presiden menyampaikan belasungkawa yang mendalam atas wafatnya mantan Presiden RI Kedua Haji Muhammad Soeharto.
Jika direnungkah banyak jasa-jasa besar yang dilakukan Soeharto untuk pembangunan dan perkembangan Indonesia dmata dunia Internasional, sebagan rakyat yang pernah hidup di zaman Presiden Soeharto menganggap zaman Soeharto merupakan zaman keemasan ndonesia, karena harga-harga kebutuhan pokok yang murah dimasa itu yang berbanding terbalik dengan zaman sekarang ini, pertumbuhan ekonomi yang stabil, Presiden Soeharto berhasil merubah wajah Indonesia yang awalnya menjadi negara pengimpor beras menjadi negara swasembada beras dan turut mensejahterahkan petani. Sektor pembangunan dimasa Presiden Soeharto dianggap paling maju melalui Repelita I sampai Repelita VI.
Keamanan dan kestabilan negara yang terjamin serta menciptakan kesadaran nasionalisme yang tinggi pada masanya. Di bidang kesehatan, upaya meningkatkan kualitas bayi dan masa depan generasi ini dilakukan melalui program kesehatan di posyandu dan KB, sebuah upaya yang mengintegrasikan antara program pemerintah dengan kemandirian masyarakat. Di jamannya, program ini memang sangat populer dan berhasil. Banyak ibu berhasil dan peduli atas kebutuhan balita mereka di saat paling penting dalam periode pertumbuhannya. itulah sekelumit jasa-jasa atau prestasi dari presiden Soeharto meskipun disamping jasa-jasanya tersebut banyak juga kegagalan di pemerintahannya seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di masanya, pembangunan yang tidak merata antara pusat dan daerah sehingga memunculkan kecemburuan dari daerah seperti Papua.
Dari banyaknya jasa presiden Soeharto tersebut sehingga banyyak yang mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional Indonesia. Terlepas dari sejumlah pihak yang masih mempermasalahkan sejumlah kasus hukum Soeharto, fakta di dalam sejarah Indonesia menunjukkan bahwa Soeharto memiliki jasa besar kepada Indonesia. “Perjuangan Soeharto untuk Indonesia yang tercatat dalam buku sejarah bangsa ini, antara lain, pada masa revolusi fisik antara 1945 hingga 1949, pascarevolusi fisik antara 1962 hingga 1967 dan masa kepemimpinannya sebagai presiden
Sosok Soeharto masih menjadi kontroversi hingga saat ini. Rakyat kecil mengingatnya sebagai pahlawan yang menyediakan bensin murah dan beras yang bisa dijangkau. Mereka yang ketika itu tak bersentuhan dengan politik dan pergerakan, akan langsung mengangguk setuju jika ditanya zaman Soeharto lebih enak. Polemik soal gelar pahlawan bagi Soeharto pun masih penuh perdebatan. Sebagian setuju, sebagian menolak mentah-mentah. Sebagian menganggap Soeharto pahlawan pembangunan dan penyelamat Pancasila. Sebagian lagi menganggap Soeharto berlumuran darah atas berbagai aksi pembantaian selama peralihan Orde Lama ke Orde Baru dan seterusnya.
![]() |



Referensi :
- http://www.wattpad.com/79641-biografi-soeharto - http://www.merdeka.com/peristiwa/enak-sekarang-atau-zaman-soeharto.html