Dalam profil PSSI di situs resmi FIFA, pada kolom prestasi tercantum
bahwa Indonesia pernah satu kali tampil di Piala Dunia, yakni pada 1938
di Prancis. Sesungguhnya, yang bermain saat itu adalah orang-orang
Indonesia, tapi mereka bermain di bawah bendera NIVU (persatuan sepak
bola Hindia Belanda), bukan PSSI, yang telah berdiri sejak 1930.
Dengan bendera PSSI, jangankan berlaga di Piala Dunia, melangkah jauh
di babak kualifikasi saja sulit dilakukan tim nasional Indonesia. Sejak
FIFA menerapkan sistem grup di babak kualifikasi zona Asia, hanya sekali
Pasukan Garuda menjadi juara grup dan maju ke babak berikut.
Prestasi terbaik itu terjadi pada kualifikasi Piala Dunia Meksiko 1986.
Namun, setelah memuncaki grup 3B dengan menyisihkan India, Thailand,
dan Bangladesh, langkah tim asuhan pelatih Sinyo Aliandoe langsung
terhenti setelah kalah dalam dua duel pada Juli 1985 melawan juara grup
3A, Korea Selatan.
Sebelum pertandingan, sikap kalah sebelum berperang sudah muncul. “Kita
seperti takut sekali melawan Korsel. Itu bisa dilihat dari suasana
pelatnas. Ada juga pemimpin yang mengatakan lebih enak bertemu Malaysia.
Kehebatan Korsel terlalu diagungkan,” kritik L.H. Tanoto, mantan pemain
timnas yang juga ayah pemain tim saat itu, Wahyu Tanoto, di BOLA edisi
31 Mei 1985.
Di dalam tubuh tim, pelatih Sinyo menolak usul banyak pihak untuk
memanggil bintang perserikatan, Ajat Sudrajat (Persib) dan Adolf Kabo
(Perseman). Meski demikian, Sinyo tetap merekrut pemain baru, di
antaranya bek kiri Didik Darmadi (Persija) dan penyerang Noach Maryen
(PSSI Garuda).
Perubahan dilakukan Sinyo untuk mewujudkan target meraih satu poin di
Seoul. Kapten Herry Kiswanto, yang selama subgrup bermain sebagai
gelandang sentral, disiapkan menjadi stoper ganda bersama Marzuki
Nyakmad saat timnas ditekan lawan, sementara partner Marzuki di babak
subgrup, Warta Kusuma, dimainkan sebagai libero.
Bermodalkan uji coba melawan klub-klub lokal, timnas berangkat ke Seoul
pada 18 Juli atau tiga hari sebelum pertandingan di Stadion Olimpiade.
Lagu "Halo-halo Bandung" yang dinyanyikan para pegawai KBRI di Seoul
plus puluhan wartawan lokal menyambut kedatangan Herry Kiswanto dkk. di
Bandara Kimpo.
Pada hari pertandingan, 21 Juli 1985, denagn mengenakan seragam
hijau-hijau, timnas mampu bertahan dengan baik hingga satu jam lebih
pertandingan berjalan. Bahkan Zulkarnaen Lubis nyaris membawa Indonesia
unggul setelah mampu lolos dari hadangan bek-bek tuan rumah sehingga
tinggal berhadapan dengan kiper Oh Yun-kyu pada menit ke-69. Namun, Zul
sudah kehabisan bensin sehingga kiper Korea Selatan dapat meredam
serangannya.
Menurunnya tingkat konsentrasi akibat keletihan menjadi penyebab
lahirnya dua gol Korea Selatan ke gawang Hermansyah pada menit ke-74 dan
79.
Kalah 0-2, timnas merasa masih memiliki harapan dalam laga di Jakarta pada 30 Juli.
Beberapa hari sebelum pertandingan, kolumnis Kadir Yusuf di harian
Kompas menulis, "Di Senayan, timnas bermain wajar saja, dan jangan asal
menyerang."
Nasihat tersebut diabaikan pasukan Sinyo dalam pertandingan kedua di
Senayan pada 30 Juli. Begitu wasit George Yoseph dari Malaysia meniup
peluit tanda laga dimulai, Herry dkk. langsung menerjang lawan.
Akibatnya, pertahanan timnas terbuka.
Serangan balik Korea Selatan menghasilkan dua gol pada sembilan menit
pertama pertandingan. Setelah tamu menambah dua gol lagi, timnas baru
dapat mencetak gol melalui sundulan sayap kanan Dede Sulaiman. Itu pun
terjadi tiga menit sebelum laga berakhir.
"Serangan total yang menjadi bumerang. Impian Aliandoe untuk melakukan
pembalasan atas Korsel yang diucapkannya dengan optimistis ternyata
tetap menjadi impian. Tim nasional kita dihancurkan Korsel 4-1,"
demikian tulis mantan kapten timnas, Ronny Pattinasarany, dalam catatan
sepak bola di Kompas 31 Juli 1985.
*Tulisan ini dimuat di FourFourTwo Indonesia edisi Agustus 2011. Simak
kisah-kisah lain dalam perjalanan sejarah sepak bola Indonesia di
majalah FourFourTwo Indonesia yang terbit pada pekan keempat setiap
bulan.
Juga pada bulan ini
Timnas mengalahkan Qatar 2-1 di Piala Asia 2004 di Cina. Kemenangan itu
menjadi yang pertama buat Indonesia sepanjang sejarah keikutsertaan di
Piala Asia. Tepat tiga tahun kemudian, di Jakarta 2007, Merah-Putih
meraih kesuksesan kedua melalui kemenangan 2-1 atas Bahrain.
Beberapa mantan pemain dan pelatih tim nasional tutup usia. Di
antaranya penyerang tahun 60-an dan 70-an, Yakob Sihasale (dalam usia
39 tahun pada 8 Juli 1983), kapten tahun 1970-an, Iswadi Idris (60 tahun
pada 11 Juli 2008), dan pelatih juara SEA Games 1997, Bertje
Matulapelwa (59 tahun pada 9 Juli 2002).
Setelah memimpin rapat pengurus PSSI pada 27 Juli 1994, Ketua Umum
Azwar Anas mengumumkan penggabungan kompetisi Galatama dan Perserikatan.
Dua belas bulan kemudian, Persib menjuarai edisi pertama Liga Indonesia
setelah memukul Petrokimia Putra 1-0.
Kecewa pada persepak bolaan nasional, Sjarnubi Said membubarkan Krama
Yudha Tiga Berlian pada 8 Juli 1991. Krama Yudha adalah klub Indonesia
yang paling berprestasi tinggi di tingkat Asia. Klub Palembang ini
berada di posisi tiga Piala Champion 1986.
Pada 15 Juli 1996, bos Pelita Jaya, Nirwan Bakrie, menyatakan bahwa
Kurniawan Dwi Yulianto ditransfer ke Sampdoria seharga Rp115 juta, tapi
pada Agustus Kurniawan kembali ke Indonesia.
Jaman Dahulu Orang nya tinggi" ya gan.......
moga ada pelatihan yang lebih baik dan jadi lebih baik lagi......
Sumber: fourfourtwo
+ komentar + 1 komentar
Agen B-o-l-a-v-i-t-a Terus Berinovasi Untuk Memberikan Kemudahan Kepada Member Setia Bo-l-a-v-i-t-a, Dengan Sebuah Terobosan Baru Sekarang B o l a v i t a Bekerja Sama Dengan OVOpay Indonesia Agar Para Member Setia B o l a v i ta Tetap Bisa Melakukan Deposit Tanpa Harus Pergi Jauh" ke Mesin ATM, Dapat Bertransaksi Meskipun Jam Offline.. Jenis Game !!
• Bola
• Sabung Ayam • Togel Online • Tangkas • Casino
• Tembak Ikan
• Poker
• SLOT (Play1628)
• WM Casino
BBM: B o l a v i t a
WA: +62 8 1 2-2 2 2 2-9 9 5
Posting Komentar